Nabi Muhammad  SAW mempunyai sahabat perempuan bernama Muthi’ah yang sangat taat pada suaminya. Setiap hari, Muthi’ah selalu mematuhi pesan suaminya yang pergi bekerja hingga sore supaya tidak menerima tamu laki-laki.

Melihat ketaatannya pada suami, Nabi Muhammad sangat kagum terhadap sikap Muthi’ah sehari-hari. Seringkali Nabi Muhammad menasehati putrinya Fatimah supaya meniru keteladanan Muthi’ah dalam kehidupan keluarganya.

Suatu hari, Nabi Muhammad berkunjung ke rumah putrinya Fatimah. Nabi Muhammad merasakan sepertinya telah terjadi gesekan antara Fatimah dengan suaminya, Ali Bin Abi Thalib. Sebab, Ali tidak ada di rumah sedang Fatimah kelihatan sedikit murung.

Kemudian Nabi Muhammad mengundang Ali yang sedang menyendiri di masjid untuk mengklarifikasi permasalahan keluarganya. Setelah mendengarkan cerita Ali, Nabi berkesimpulan Fatimah penyebab munculnya permasalahan. Nabi lalu menesahati putrinya supaya sekali-kali berkunjung ke rumah Muthi’ah.

Esok harinya, Fatimah ke rumah Muthi’ah dengan membawa anak kecil  laki-laki berumur tiga tahun. Ketika mengetuk pintu, Muthi’ah bertanya,”siapa itu?

“Saya Fatimah, Muthi’ah,” jawab putri Nabi.

“Sama siapa,?” tanya Muthiah lagi.  Fatimah pun menyahut. “Saya bersama anak kecil laki-laki.”

 Karena ingat pesen suaminya tidak boleh menemui tamu laki-laki, Muthi’ah melarang Fatimah membawa anak kecil tadi. Seketika pula Fatimah memulangkan anak tadi dan kembali lagi ke rumah Muthi’ah.

Ketika masuk rumah Muthi’ah , di depan pintu sudah tersedia meja kursi, sementara  di atas pintu terdapat gantungan pakaian, handuk dan menjalin (rotan). “Kamu kok menyediakan barang-barang itu buat apa?” tanya putri Nabi.

“Semua ini untuk menyambut suamiku pulang kerja. Meja kursi untuk istirahat, handuk untuk membasuh keringat suamiku, gantungan buat menaruh bajunya,” jawab Muthi’ah.

“Lalu, rotan itu buat apa?” ujar Fatimah bertanya lagi.

“Sebagai upaya terakhir, bila suami merasakan kurang terlayani saya dengan baik, supaya rotan ini bisa digunakan untuk mencambuk diriku,” jawab Muthi’ah menjelaskan.

Mendengar jawaban tersebut, spontan Fatimah langsung membalikkan badan lari sambil menangis pulang. Dalam hatinya berpikiran menyesali sambil berucap, “apa mungkin saya bisa seperti Muthi’ah?”.

Di sinilah, Muthi’ah adalah sosok perempuan yang mampu menjadi contoh keteladanan  bagi istri istri yang shalihah.

Posting Komentar