Inilah sedikit curhatan beberapa aku yang tinggal di tempat yang berbeda. Satu aku tinggal di sebuah masjid mewah di tengah kota metropolitan. Satu aku yang lain tinggal di sebuah rumah sederhana. Sedangkan aku yang lain tinggal di sebuah kamar kos mahasiswa.

Ya,, Aku adalah sebuah kitab suci bagi seorang Muslim. Sekarang aku menempati sebuah rak buku yang berjajar rapi di salah satu serambi sebuah masjid mewah. Setiap waktu sholat tiba alunan adzan yang begitu indah dari seorang muadzin, menggema di setiap sudut masjid yang ternama ini. Menurut perkiraanku, mungkin ribuan orang datang dan pergi mengunjungi masjid ini setiap harinya, aku tidak tahu apakah mereka sholat atau hanya sekedar berpose mengabadikan wajah penuh bedak mereka dengan masjid ini. Perkiraan hitunganku tadi mungkin meleset jika liburan tiba, karena mungkin puluhan ribu orang bisa datang ke masjid ini setiap harinya.

Tetapi meskipun masjid ini selalu ramai dengan lautan manusia, aku begitu sedih selama ini. Karena dari banyaknya orang yang datang mengunjungi masjid ini setiap hari, aku bisa menghitung siapa yang hanya melihatku saja. Sedangkan mereka yang menyentuh dan membacaku, ah...aku tidak ingin menceritakan tentang hal ini. Karena sedikit dan sangat sedikit mereka yang mau membacaku. Bagaimana mereka mau membacaku, sedangkan melihat rak di mana aku berdiri tegak sekarang saja mereka malu, mereka lebih memilih duduk santai di taman masjid, bercengkrama bersama pasangan tak resminya. Andaikan saja... orang-orang itu tahu, kalau aku bukan sekedar pajangan.

Aku terdiri dari tiga puluh juz dan seratus empat belas surat. Dahulu aku pernah tinggal di sebuah pondok pesantren ketika orang yang membeliku dari sebuah toko kecil menimba ilmu agama di sana. Dahulu dia selalu membawaku ke mana dia pergi untuk membacaku. Pada masa itu dia juga menghafalku dengan penuh kesungguhan di sepertiga malam ketika para manusia terlelap dalam mimpinya. Dahulu... itu cerita yang sudah berlalu.

Sekarang aku tinggal di sebuah rumah sederhana. Rumah ini tidak terlalu besar, tidak juga terlalu kecil. Aku ditempatkan di lemari yang cukup besar, satu tingkat tepat di atas sebuah televisi berwarna model tua, berjajar dengan sebuah kamus Arab – Indonesia yang tebalnya mungkin dua kali lipatku. Pemilik rumah yang juga membeliku dari toko waktu itu kini sudah menjadi seorang pekerja yang cukup mapan. Dia orang yang cukup rajin dalam pekerjaannya, berangkat di pagi hari dan pulang beberapa jam menjelang adzan maghrib berkumandang.

Tetapi dia kini seperti telah melupakanku. Dia tak lagi pernah mengambil dan membacaku seperti yang dahulu telah dia lakukan ketika dia masih berada di pesantren. Pernah suatu hari sepertinya dia akan membacaku, begitu selesai melaksanakan sholat maghrib di rumahnya, aku sendiri tidak tahu kenapa dia begitu malas untuk pergi ke masjid. Dia melangkah menuju tempatku diberdirikan. Aku sudah begitu senang ketika itu, karena kupikir dia akan mengambilku dan membacaku seperti dahulu kala. Tapi ternyata dia mengambil sebuah remote di atas televisi, sedikit mengotak-atik bagian baterai kemudian kembali manjauhiku dan duduk santai menonton sinetron cengeng yang katanya islami. Ah... jika saja dia tahu kalau aku bukan sekedar pajangan.

Aku sebuah kitab yang harus dijadikan pedoman hidup oleh seorang muslim. Pada waktu itu aku diberikan oleh salah satu dosen agama kepada seorang mahasiswa sebagai hadiah atas sebuah presentasi yang begitu luar biasa. Aku sekarang tinggal bersamanya di sebuah kos yang cukup mewah. Aku diberdirikan sejajar dengan berbagai judul buku mata kuliahnya. Dia termasuk mahasiswa terpandang dan berprestasi di kampus. Maka, wajarlah jika banyak sahabatnya berkunjung kepadanya untuk mengerjakan tugas bersama atau hanya sekedar berkunjung dan berdiskusi biasa. Sering kudengar dari mereka para tamu memujinya, karena dia memilikiku berderet dengan berbagai macam buku koleksinya.

Tetapi pujian para tamu itu bukanlah apa-apa bagiku. Karena menurutku, aku bukanlah sebuah kitab yang spesial baginya. Dia memang selalu membersihkanku dan buku yang lain dari segala debu. Tapi untuk membacaku? tampaknya dia lebih memilih buku-buku yang berada di sampingku. Dia sama sekali tak pernah membukaku, hingga akupun kadang berpikir. Apakah karena dia tak tahu bagaimana cara membacaku ? padahal dia adalah seorang mahasiswa terpelajar dengan berbagai macam prestasi. Ya... mungkin dia memang tidak tahu bagaimana cara membacaku. Atau mungkin... dia dulu pernah menghafalku, jadi merasa tidak lagi membutuhkanku.

*-*-*-*-*

Jika saja seorang Muslim tahu, membacaku akan mendapatkan sepuluh kebaikan dari setiap hurufnya. Dan Rasulullah pernah menyatakan bahwa (الم) itu bukan satu huruf, tapi (ا) alif adalah satu huruf, (ل) lam adalah satu huruf, dan (م) adalah satu huruf.

jika saja kaum Muslimin sadar, Bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam mengabarkan dalam sebuah hadist dari Usman bin affan radhiyallahu ‘anhu bahwa orang yang paling baik adalah yang mempelajariku dan mengajarkan kepada orang lain.

Apakah seorang Mu’min tidak mengetahui. Bahwa perumpamaan mereka yang membacaku adalah seperti buah utrujah yang baunya harum dan rasanya lezat. Sedangkan mereka yang tidak membacaku diumpamakan seperti tamrah yang tidak ada baunya tapi rasanya manis. Dan bagi orang munafik yang membacaku diumpamakan seperti raihanah yang baunya harum tapi rasanya lezat. Sedangkan bagi munafik yang tidak membacaku diumpamakan seperti hanzhalah yang tidak ada baunya dan pahit rasanya.

Jika saja seorang Muslim tahu, bahwa aku akan datang sebagai pemberi syafaat kepada siapa yang menghafalkanku di hari akhir nanti.

Jika saja mereka tahu semua itu, tentu mereka akan membacaku, menghafalku, dan mengamalkan apa yang tertulis di setiap lembaranku. Itu semua adalah karena aku adalah Al qur’an dan “aku bukan sekedar pajangan”.

Posting Komentar