K.H. Bisri Syansuri lahir di Desa Tayu, Pati, Jawa Tengah pada tanggal
18 September 1886. Ayahnya bernama Kyai Syansuri dan ibunya bernama Mariah.
Beliau adalah anak ketiga dari lima bersaudara. Beliau lahir dari
keluarga penganut tradisi keagamaan yang sangat kuat, yang menurunkan
ulama-ulama besar dalam beberapa generasi.
Tayu, kota kecamatan di Kabupaten Pati terletak di pesisir utara Jawa,
merupakan daerah yang memiliki budaya sosial keagamaannya sendiri.
Penduduknya sangat teguh memegang tradisi keagamaan. Daerah kelahiran
K.H. Bisri Syansuri adalah bagian dari daerah yang membentang dari Demak
di timur Semarang sampai Gresik di barat laut Surabaya. Latar belakang
geografis ini sangat mewarnai pandangan hidup K.H. Bisri Syansuri di
kemudian hari dan turut membentuk kepribadiannya.
Pendidikan
Pada usia tujuh tahun KH Bisyri Syansuri mulai belajar
agama secara teratur yang diawali dengan belajar membaca Al Qur'an
secara mujawwad (dengan bacaan tajwid yang benar) pada Kyai Shaleh di
desa Tayu. Pelajaran membaca Al Qur' an ini ditekuninya sampai beliau
berusia sembilan tahun.Kemudian beliau melanjutkan pelajarannya ke
pesantren Kajen. Guru beliau bernama Kyai Abdul Salam, seorang Huffadz
yang juga terkenal penguasaannya di bidang Fiqih. Kyai Abdul Salam ini
adalah seorang yang hafal Al-Qur'an dan memiliki penguasaan yang
mendasar atas fiqih.Kyai Abdul Salam ini sebenarnya masih termasuk
keluarga dekat K.H. Bisri Syansuri dan membuka pesantren di desa itu.Di
bawah asuhan Kyai Abdul Salam,K.H. Bisri Syansuri digembleng dengan
keras, sehingga mewarnai corak kepribadiannya kelak.Dengan Kyai Abdul
Salam ini K.H. Bisri Syansuri mempelajari dasar-dasar tata bahasa Arab,
fiqih, tafsir Al-Qur'an dan hadits Nabi.
Pada usia lima belas tahun KH Bisyri Syansuri berpindah
pesantren lagi, belajar pada Kyai Khalil di Demangan Bangkalan. Kemudian
pada usia 19 tahun beliau meneruskan pelajarannya ke pesantren
Tebuireng Jombang. Di bawah bimbingan KH Hasyim Asy'ari beliau
mempelajari berbagai ilmu agama Islam. Kecerdasan dan ketaatan beliau
menyebabkan tumbuhnya hubungan yang sangat erat antara beliau dengan
hadratus syaikh untuk masa-masa selanjutnya.
Setelah enam tahun lamanya belajar di Tebuireng, pada usia
24 tahun beliau berangkat melanjutkan pendidikan ke Makkah. Beliau
bersahabat dengan K.H. Abdul Wahab Hasbullah sejak di pesantren
Kademangan sampai di tanah suci Makkah. Ketika Adik K.H. Abdul Wahab
Chasbullah yang bemama Nur Khadijah menunaikan ibadah haji bersama
ibunya pada tahun 1914, K.H. Abdul Wahab Chasbullah menjodohkan adiknya
dengan KH Bisyri Syansuri, dan pada tahun itu juga beliau pulang ke
tanah air.
Kepulangan ke tanah air itu membawa beliau kepada pilihan untuk kembali
ke Tayu atau menetap di Tambakberas.Atas permintaan keluarga Nur
Khadijah, beliau menetap di Tambakberas Jombang.Setelah dua tahun
menetap dan membantu mengajar di Pesantren Tambakberas, pada tahun 1917
beliau pindah ke desa Denanyar.Di tempat ini beliau bertani sambil
mengajar, yang kemudian berkembang menjadi sebuah pesantren.Semula
pesantren ini hanya mendidik santri laki-laki, tetapi pada tahun 1919
beliau mencoba membuka pengajaran khusus bagi para santri
wanita.Percobaan ini ternyata mempunyai pengaruh bagi perkembangan
pesantren, khususnya di JawaTimur.Karena sebelumnya memang tidak pernah
ada pendidikan khusus untuk santri putri.
Pengabdian
K.H. Bisri Syansuri termasuk salah seorang Kyai yang hadir
dalam pertemuan 31 Januari 1926 di Surabaya, saat para ulama menyepakati
berdirinya organisasi NU. K.H. Bisri Syansuri duduk sebagai A'wan
(anggota) Syuriah dalam susunan PBNU pertama kali itu.
Pada masa perjuangan kemerdekaan, K.H. Bisri Syansuri
bergabung ke dalam barisan Sabilillah dan menjabat sebagai Kepala Staf
Markas Besar Oelama Djawa Timoer (MBO-DT) yang kantornya di belakang
pabrik paku Waru, Sidoarjo.
Sejak K.H.M. Hasyim Asy'ari wafat pada tahun 1947,
jabatan Rais Akbar dihapuskan, diganti dengan Rais Am. Posisi itu
dijabat oleh K.H. Abdul Wahab Chasbullah, dimana K.H. Bisri Syansuri
ditetapkan sebagai wakilnya. Pada tahun 1971 K.H. Bisri Syansuri
menggantikan Kiai Wahab sebagai Rais Am sampai akhir hayatnya.
Karier Politik
Dalam bidang politik, K.H. Bisri Syansuri pernah menjadi
anggota BP KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) mewakili Masyumi.
Hasil pemilu 1955 mengantarkan dirinya menjadi anggota Dewan
Konstituante, sampai lembaga itu dibubarkan oleh Presiden Soekarno lewat
dekrit Presiden 5 Juli 1959. Hasil Pemilu 1971 mengantarkan K.H. Bisri
Syansuri kembali duduk sebagai anggota DPR RI dari unsur NU. Jabatan itu
dipegangnya sampai beliau wafat.
Ketika PPP dibentuk oleh pemerintah Orde Baru dari
unsur-unsur partai Islam peserta pemilu 1971, K.H. Bisri Syansuri
ditunjuk sebagai Rais Am majlis syuro partai tersebut. Dalam beberapa
forum, sikapnya dikenal keras dan sulit diajak kompromi. Sebab sudut
pandang yang dipakai lebih banyak pada kacamata fiqh ansich. Namun K.H.
Bisri Syansuri selalu konsisten dengan sikapnya.Peristiwa dalam Sidang
Umum MPR 1978 adalah salah satu contohnya.
Selain berkakak ipar K.H.A. Wahab Chasbullah, K.H. Bisri
Syansuri juga berbesan dengan K.H.M. Hasyim Asy'ari, gurunya. K.H.A.
Wahid Hasyim, menikah dengan Hj. Solichah, putrinya. Dari merekalah
lahir K.H. Abdurrahman Wahid, alias Gus Dur, yang telah menjadi Presiden
Republik Indonesia ke-4 (20 Oktober 1999 - 23 Juli 2001).
Sampai akhir hayatnya K.H. Bisri Syansuri masih menjadi anggota DPR,
Rais Am PBNU, Rais Am Majlis Syuro DPP PPP, di samping aktif mengasuh
Pondok Pesantren Denanyar yang didirikannya sejak tahun 1917. K.H. Bisri
Syansuri wafat di Jombang pada tanggal 25 April 1980 dalam usia 94
tahun, dan dimakamkan di komplek Pesantren Denanyar.
Ahli dan Pecinta Fiqih
Karakter sebagai pecinta Fiqih terbentuk ketika K.H. Bisri
Syansuri nyantri kepada K.H. Kholil Bangkalan, dan semakin menguat
setelah nyantri di Tebuireng.K.H. Bisri Syansuri memang sengaja
mendalami pokok-pokok pengambilan hukum agama dalam fiqh, terutama
literatur fiqih lama.
Tidak mengherankan jika K.H. Bisri Syansuri begitu kukuh dalam memegangi
kaidah-kaidah hukum fiqih, dan begitu teguh dalam
mengkontekstualisasikan fiqh kepada kenyataan-kenyataan hidup secara
baik.
Walaupun begitu, K.H. Bisri Syansuri tidak kaku dan kolot
dalam berinteraksi dengan masyarakat.Hal itu setidaknya terlihat dari
upayanya dalam merintis pesantren yang dibangunnya di Denanyar.
Pertengahan Juni ini, Ponpes Mambaul Maarif Denanyar,
Jombang, memiliki hajat besar.Ribuan orang diperkirakan memadati lokasi
pesantren untuk menghadiri agenda acara tahunan Haul ke-31 wafatnya
KH.Bisri Syansuri dan bersama-sama meneladani keteguhan prinsip dan
kecintaannya kepada ilmu fiqih, Islam dan bangsa.
Pembicarakan kisah hidup K.H. Bisri Syansuri berarti membicarakan
kecintaan seorang ulama terhadap ilmu fiqih.Karena saking cintanya, K.H.
Bisri Syansuri dikenal sebagai ulama yang tegas memegang prinsip.KH.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang juga cucunya sendiri, menyebut K.H.
Bisri Syansuri sebagai "Pecinta Fiqih Sepanjang Hayat" yang ter-muat
sebagai judul buku yang beliau tulis.
Ada kisah menarik yang termuat dalam buku Gus Dur.K.H.
Abdul Wahab Chasbullah sering sekali berbeda pendapat dengan K.H. Bisri
Syansuri.K.H. Abdul Wahab Chasbullah, menurut Gus Dur, lahir sebagai
anak kaya di Bibis, Kota Surabaya.Ibunya memiliki ratusan rumah di
daerah tersebut yang disewa oleh orang-orang Arab pada paruh kedua abad
ke-19 Masehi.
Sebaliknya, K.H. Bisri Syansuri lahir beberapa tahun
kemudian, di tengah-tengah keluarga miskin di kawasan Tayu Wetan, Pati,
Jawa Tengah.Dia belajar di pesantren lokal dan kemudian di pesantren
K.H. Cholil, Demangan, Bangkalan.Di sanalah dia bertemu dengan K.H.
Abdul Wahab Chasbullah.
K.H. Bisri Syansuri muda dapat terus menjadi santri karena beliau
mencuci pakaian dan menanak nasi untuk kawan barunya itu, Kiai Wahab
muda.Segera K.H. Bisri Syansuri muda menjadi orang kepercayaan K.H.
Abdul Wahab Chasbullah muda karena jujur dan rajin.Jadi, urusannya sudah
bukan lagi menyangkut pakaian dan makanan, tetapi sudah berkaitan
dengan watak dan tempramen.Walaupun begitu, keahlian ilmu agama Islam
kedua orang itu juga saling berbeda.
Perbedaannya terletak pada bidang ilmu agama yang mereka
senangi.K.H. Abdul Wahab Chasbullah senang pada ilmu ushul fiqh,
sedangkan K.H. Bisri Syansuri menyukai tafsir dan hadits Nabi Muhammad
SAW. Bidang itu juga dinamai kajian naqly, bertumpu kepada ayat-ayat
Alquran dan hadits Nabi Muhammad SAW.
Karena itu, K.H. Bisri Syansuri tidak banyak berkutat dengan penggunaan
akal (rasio) sebagaimana K.H. Abdul Wahab Chasbullah.Pernah K.H. Abdul
Wahab Chasbullah bertanya kepada Gus Dur; "Saya dengar kakekmu itu tidak
pernah makan di warung?"Gus Dur menjawab, "Memang benar demikian.
K.H. Abdul Wahab Chasbullah kembali bertanya,
"Mengapa?"Gus Dur menjawab, "K.H. Bisri Syansuri tidak menemukan hadits
yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah makan di warung."K.H.
Abdul Wahab Chasbullah mengatakan; "Ya, tentu saja karena waktu itu
belum ada warung."
Tetapi pergaulan mereka, tokoh tekstual di satu sisi dan
tokoh satunya yang senang menggunakan rasio, ternyata sangat erat.Hal
ini tampak ketika ada bahtsul masail.Gus Dur pernah menyaksikan sekitar
40-an orang kyai berkumpul dari pagi hingga sore hari di ruang tamu K.H.
Bisri Syansuri.Ternyata, keduanya berdebat seru, yang satu membolehkan
dan yang satu lagi melarang sebuah perbuatan.
Demikian seru mereka berbeda, hingga akhirnya semua kyai yang lain
menutup buku/kitab mereka dan mengikuti saja kedua orang itu berdebat.
Sampai-sampai,
baik
K.H. Abdul Wahab Chasbullah maupun K.H. Bisri Syansuri berdiri dari
tempat duduk mereka sambil memukul-mukul meja marmer yang mereka gunakan
berdiskusi.Muka keduanya memerah karena bertahan pada pendirian
masing-masing.
Akhirnya kemudian K.H. Abdul Wahab Chasbullah menyerang,
"Kitab yang Sampeyan gunakan adalah cetakan Kudus, sedangkan kitab saya
adalah cetakan Kairo." Ini adalah tanda K.H. Abdul Wahab Chasbullah
kalah argumentasi dan akan menerima pandangan K.H. Bisri Syansuri. Walau
pada forum bahtsul masail itu mereka berbicara sampai memukul-mukul
meja dengan wajah memerah, namun ketika tiba-tiba beduk berbunyi, K.H.
Bisri Syansuri segera berlari ke sumur di dekat ruang pertemuan
tersebut. Di sana, dia naik ke pinggiran sumur dan menimbakan air wudhu
bagi iparnya itu. Beda pendapat boleh tapi harus tetap rukun.Demikian
kira-kira pegangan mereka.
Kisah menarik lainnya terdapat di buku "Menapak Jejak Mengenal Watak,
Sekilas Biografi 26 Tokoh NU".Dalam resepsi penutupan Kongres Gerakan
Pemuda Ansor di Surabaya, April 1980, Pengasuh Pesantren Tebuireng K.H.
Yusuf Hasyim (Pak Ud) membisiki seseorang, "Sakitnya K.H. Bisri Syansuri
semakin parah.Beliau dalam keadaan tidak sadar siang tadi ketika saya
tinggalkan berangkat kemari," ujarnya.Orang yang diberitahu tersentak
mendengar bisikan itu.Sebab tiga hari sebelumnya, dia ikut hadir di
ruang tamu rumahnya, sewaktu pendiri dan pemimpin Ponpes Mambaul Maarif
itu menerima Probosutedjo, pengusaha kenamaan dan adik Presiden
Soeharto.
Probosutedjo diundang untuk memberikan ceramah tentang kewiraswastaan
dalam Kongres Ansor di Surabaya.Kehadirannya memenuhi undangan tersebut
dimanfaatkan sekaligus untuk mengunjungi K.H. Bisri Syansuri yang sedang
dalam keadaan sakit.Ketika itu K.H. Bisri Syansuri menjemput sendiri
tamunya di teras tempat kediamannya.Bersarung putih dengan garis
kotak-kotak kebiruan, mengenakan baju putih dan berkopiah haji.K.H.
Bisri Syansuri mempersilakan tamu dari Jakarta itu memasuki ruang depan
rumahnya yang tua dan berperabotan sederhana.
Wajahnya, seperti biasa, tampak jernih.Dengan sabar penuh
perhatian beliau mendengarkan setiap kata yang diucapkan oleh tamunya.
Dan dengan suara lembut beliau menjawab setiap pertanyaan, menjawab
salam dari Presiden Soeharto yang disampaikan oleh Probosutedjo dan
dengan halus menolak tawaran berobat ke luar negeri.
Terdapat pula kisah K.H. Bisri Syansuri dalam buku "Antologi NU;
Sejarah, Istilah, Amaliah, Uswah" jilid I. Saat berlangsung Sidang Umum
MPR tahun 1978 ada peristiwa luar biasa. Fraksi PPP tidak sepakat dengan
keputusan fraksi lain. Setelah berkali-kali adu argumentasi mengenai
rancangan ketetapan MPR tentang P4 namun tetap tidak membuahkan
hasil.Sementara partai sudah menggariskan untuk memegang teguh amanat
itu, mereka pun keluar sidang.
Seluruh anggota Fraksi PPP segera berdiri. Dipimpin langsung
oleh K.H. Bisri Syansuri, mereka beriringan walk out sebagai tanda
tidak setuju terhadap hasil keputusan. Meski sudah berusia 92 tahun,
kyai yang menciptakan lambang ka'bah bagi PPP itu malah berjalan paling
depan.
Ketegasan lain nampak tatkala DPR membahas RUU tentang
perkawinan. Secara kesluruhan RUU itu dinilai banyak bertentangan dengan
ketentuan hukum agama Islam.Maka, di mata K.H. Bisri Syansuri,
menghadapi kasus itu, tidak ada alternatif lain kecuali menolaknya.
Langkah pertama yang K.H. Bisri Syansuri lakukan adalah
dengan mengumpulkan sejumlah ulama di daerah Jombang untuk membuat RUU
tandingan yang akan diajukan ke DPR-RI. Setelah RUU tandingan itu
selesai dibahas, lalu disampaikan ke PBNU, yang diterima secara
aklamasi.
Setelah itu amandemen RUU itu diajukan ke Majelis
Syuro PPP dan diterima.DPP PPP memerintahkan Fraksi PPP DPR-RI agar
menjadikan RUU tandingan itu sebagai rancangan yang diterima dan harus
diperjuangkan. Setelah melalui proses yang panjang dan melelahkan, serta
lebih banyak dilakukan di luar gedung DPR-RI, akhirnya RUU itu disahkan
setelah ada revisi dan tidak lagi bertentangan dengan hukum Islam.
Pecinta Ilmu Sejati
Di sisi pergerakan, K.H. Bisri Syansuri bersama-sama para
kiai muda saat itu antara lain K.H. Abdul Wahab Chasbullah, K.H. Mas
Mansyur, K.H. Dahlan Kebondalem dan K.H. Ridwan, membentuk klub kajian
yang diberi nama Taswirul Afkar (konseptualisasi pemikiran) dan sekolah
agama dengan nama yang sama, yaitu Madrasah Taswirul Afkar. Sedangkan
keterlibatannya dalam upaya pengembangan organisasi NU antara lain
berupa pendirian rumah-rumah yatim piatu dan pelayanan kesehatan yang
dirintisnya di berbagai tempat.
Meski dikenal tegas dalam mempertahankan prinsip, kesantunan
K.H. Bisri Syansuri juga tak perlu diragukan.Saat berlangsungnya
Muktamar NU ke-24 pada tahun 1967 di Bandung, K.H. Bisri Syansuri
menunjukkan sikap tawadlu' yang perlu kita teladani.
Ketika itu sedang terjadi pemilihan Rais Am yang melibatkan
"rivalitas" antara dua kyai sepuh yang sama-sama berwibawa, yaitu K.H.
Abdul Wahab Chasbullah Rais Syuriah PBNU.Hasil pemilihan ternyata di
luar dugaan.Walaupun lebih muda, tiba-tiba K.H. Bisri Syansuri bisa
meraih suara terbanyak.K.H. Abdul Wahab Chasbullah pun menerima
kekalahan dengan berbesar hati, apalagi yang mengalahkan sahabat
dekatnya sekaligus adik iparnya sendiri.
Demikian halnya K.H. Bisri Syansuri yang memperoleh
kemenangan juga sangat rendah hati. Walaupun telah dipilih oleh
muktamirin, tetapi kemudian Kiai Bisri segera memberikan sambutan,
selama masih ada K.H. Abdul Wahab Chasbullah yang lebih senior dan lebih
alim Kiai Bisri tidak bersedia menduduki jabatan itu. "Karena itu saya
menyatakan untuk mengundurkan diri dan kembali menyerahkan jabatan itu
kepada K.H. Abdul Wahab Chasbullah."
Menanggapi sikap K.H. Bisri Syansuri, K.H. Abdul Wahab
Chasbullah menerima amanah itu.Tidak perlu merasa tersinggung, karena
walaupun sudah uzur tetapi merasa masih dibutuhkan untuk memimpin NU
dalam menghadapi situasi sulit masa orde baru. Sementara K.H. Bisri
Syansuri dipercaya sebagai Wakil Rais Am. Kemudian ketika K.H. Abdul
Wahab Chasbullah wafat pada tahun 1971, baru K.H. Bisri Syansuri
menduduki posisi sebagai Rais Am hingga wafat pada tahun 1980.
Dalam diri K.H. Bisri Syansuri paling tidak melekat tiga
karakter sekaligus. Yaitu sebagai perintis kesetaraan gender dalam
pendidikan di pesantren, seorang ahli dan pecinta fiqih dan sekaligus
seorang politisi.
Perintis Pesantren Wanita Pertama
Rasanya tidak berlebihan kalau K.H. Bisri Syansuri disebut
sebagai kyai pertama yang mengusulkan untuk di dirikannya madrasah wanita, khususnya di kalangan pesantren.K.H.
Bisri Syansuri-lah orang pertama yang mendirikan kelas khusus untuk
santri-santri wanita di pesantren yang didirikannya.Walalupun baru
diikuti perempuan-perempuan di desanya.
Di zaman yang masih kental dengan nilai-nilai patrimonial waktu itu, apa
yang dilakukan K.H. Bisri Syansuri termasuk kategori "aneh". Untung
sang guru yang sangat dihormatinya, hadratussyaikh K.H. Hasyim Asy'ari
tidak menentang terobosan yang dilakukannya. Kalau saja hadratussyaikh
melarang, niscaya K.H. Bisri Syansuri tidak akan melanjutkan langkah
fenomenal yang telah dibuatnya. Hal ini semata-mata karena takdzimnya
yang begitu mendalam kepada sang guru yang selalu dipanggilnya "kyai".
Memimpin NU dengan Konsistensi Fiqih
Keterlibatannya dalam upaya dinamisasi NU terlihat jelas dari
upayanya mendorong dan menopang berdirinya rumah-rumah yatim piatu di
berbagai tempat.
Perkembangan Nahdlatul Ulama (NU) hingga mampu menjadi organisasi massa
terbesar di Tanah Air tentu tidak bisa dilepaskan dari faktor sejarah
maupun sepak terjang tokoh-tokohnya dalam membesarkan organisasi ini.
Terlebih adalah kiprah para pendiri awal yang tanpa mengenal lelah
akhirnya berhasil meletakkan dasar-dasar pergerakan organisasi ke depan.
KH Bisri Syansuri turut terlibat dalam pembentukan NU pada
tahun 1926 dan sejak awal menjadi anggota pengurus, walaupun bukan
jabatan paling penting.
KH Bisyri Syansuri termasuk salah seorang ulama yang ikut mengambil
bagian dalam kelahiran Nahdlatul Ulama dan selama hidupnya selalu
mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk kebesaran Nahdlatul Ulama.Beliau
juga dikenal sebagai pejuang yang dengan gigih menentang penjajahan
Belanda dan Jepang. Pada masa perang kemerdekaan beliau ikut terjun di
medan tempur melawan tentara Belanda dan menjabat sebagai ketua Markas
Pertahanan Hizbullah-Sabilillah di Jawa Timur, merangkap sebagai wakil
ketua Markas Ulama Jawa timur yang dipimpin oleh KH Abdul Wahab Chasbullah.
K.H. Bisyri Syansuri adalah seorang ulama besar yang
memiliki sifat sederhana dan rendah hati.Meskipun demikian beliau
dikenal sebagai ulama yang teguh pendirian dan memegang prinsip.Dalam
menjalankan tugas beliau selalu istiqamah dan tidak mudah goyah,
terutama dalam memutuskan suatu perkara yang berhubungan dengan syari'at
Islam.setiap hukum suatu persoalan yang sudah Jelas dalilnya dari Al
Quran, Hadits, Ijma atau Qiyas keputusan beliau selalu tegas dan tidak
bisa ditawar-tawar.
Mundur dari Jabatan Rais Am
Jasa K.H. Bisri Syansuri dalam membesarkan NU juga tak patut
dilupakan.K.H. Bisri Syansuri turut terlibat terlibat dalam pertemuan
pada 31 Januari 1926 di Surabaya saat para ulama menyepakati berdirinya
NU. Pada periode pertama, K.H. Bisri Syansuri menjadi A'wan Syuriah PBNU
dan kemudian pada periode-periode berikutnya K.H. Bisri Syansuri pernah
menjadi Rais Syuriah, Wakil Rais Am dan menjadi Rais Am hingga akhir
hayatnya.
Wafat
K.H. Bisri Syansuri meninggal dunia dalam usia lanjut yaitu
dalam usia 94 tahun, pada tanggal 25 April 1980 di Denanyar, Jombang,
Jawa Timur. Makam beliau berada di kompleks Pondok Pesantren Mambaul
Maarif Denanyar Jombang, Jawa Timur. Waktu itu kurang setahun K.H. Bisri
Syansuri dikukuhkan sebagai Rais Am Pengurus Besar Syuriah Nahdlatul
Ulama dalam muktamar di Semarang, Juni 1979.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa K.H. Bisri
Syansuri adalah salah satu tokoh pemikir modern yang cukup berperan
penting dalam perkembangan pemikiran Islam dan politik di Indonesia.
Posting Komentar