K.H. Bisri Syansuri lahir di Desa Tayu, Pati, Jawa Tengah pada tanggal 18 September 1886. Ayahnya bernama Kyai Syansuri dan ibunya bernama Mariah. Beliau adalah anak ketiga dari lima bersaudara. Beliau lahir dari keluarga penganut tradisi keagamaan yang sangat kuat, yang menurunkan ulama-ulama besar dalam beberapa generasi.

Tayu, kota kecamatan di Kabupaten Pati terletak di pesisir utara Jawa, merupakan daerah yang memiliki budaya sosial keagamaannya sendiri. Penduduknya sangat teguh memegang tradisi keagamaan. Daerah kelahiran K.H. Bisri Syansuri adalah bagian dari daerah yang membentang dari Demak di timur Semarang sampai Gresik di barat laut Surabaya. Latar belakang geografis ini sangat mewarnai pandangan hidup K.H. Bisri Syansuri di kemudian hari dan turut membentuk kepribadiannya.


Pendidikan

            Pada usia tujuh tahun KH Bisyri Syansuri mulai belajar agama secara teratur yang diawali dengan belajar membaca Al Qur'an secara mujawwad (dengan bacaan tajwid yang benar) pada Kyai Shaleh di desa Tayu. Pelajaran membaca Al Qur' an ini ditekuninya sampai beliau berusia sembilan tahun.Kemudian beliau melanjutkan pelajarannya ke pesantren Kajen. Guru beliau bernama Kyai Abdul Salam, seorang Huffadz yang juga terkenal penguasaannya di bidang Fiqih. Kyai Abdul Salam ini adalah seorang yang hafal Al-Qur'an dan memiliki penguasaan yang mendasar atas fiqih.Kyai Abdul Salam ini sebenarnya masih termasuk keluarga dekat K.H. Bisri Syansuri dan membuka pesantren di desa itu.Di bawah asuhan Kyai Abdul Salam,K.H. Bisri Syansuri digembleng dengan keras, sehingga mewarnai corak kepribadiannya kelak.Dengan Kyai Abdul Salam ini K.H. Bisri Syansuri mempelajari dasar-dasar tata bahasa Arab, fiqih, tafsir Al-Qur'an dan hadits Nabi.


            Pada usia lima belas tahun KH Bisyri Syansuri berpindah pesantren lagi, belajar pada Kyai Khalil di Demangan Bangkalan. Kemudian pada usia 19 tahun beliau meneruskan pelajarannya ke pesantren Tebuireng Jombang. Di bawah bimbingan KH Hasyim Asy'ari beliau mempelajari berbagai ilmu agama Islam. Kecerdasan dan ketaatan beliau menyebabkan tumbuhnya hubungan yang sangat erat antara beliau dengan hadratus syaikh untuk masa-masa selanjutnya.


             Setelah enam tahun lamanya belajar di Tebuireng, pada usia 24 tahun beliau berangkat melanjutkan pendidikan ke Makkah. Beliau bersahabat dengan K.H. Abdul Wahab Hasbullah sejak di pesantren Kademangan sampai di tanah suci Makkah. Ketika Adik K.H. Abdul Wahab Chasbullah yang bemama Nur Khadijah menunaikan ibadah haji bersama ibunya pada tahun 1914, K.H. Abdul Wahab Chasbullah menjodohkan adiknya dengan KH Bisyri Syansuri, dan pada tahun itu juga beliau pulang ke tanah air.


Kepulangan ke tanah air itu membawa beliau kepada pilihan untuk kembali ke Tayu atau menetap di Tambakberas.Atas permintaan keluarga Nur Khadijah, beliau menetap di Tambakberas Jombang.Setelah dua tahun menetap dan membantu mengajar di Pesantren Tambakberas, pada tahun 1917 beliau pindah ke desa Denanyar.Di tempat ini beliau bertani sambil mengajar, yang kemudian berkembang menjadi sebuah pesantren.Semula pesantren ini hanya mendidik santri laki-laki, tetapi pada tahun 1919 beliau mencoba membuka pengajaran khusus bagi para santri wanita.Percobaan ini ternyata mempunyai pengaruh bagi perkembangan pesantren, khususnya di JawaTimur.Karena sebelumnya memang tidak pernah ada pendidikan khusus untuk santri putri.


Pengabdian
 
             K.H. Bisri Syansuri termasuk salah seorang Kyai yang hadir dalam pertemuan 31 Januari 1926 di Surabaya, saat para ulama menyepakati berdirinya organisasi NU. K.H. Bisri Syansuri duduk sebagai A'wan (anggota) Syuriah dalam susunan PBNU pertama kali itu.


             Pada masa perjuangan kemerdekaan, K.H. Bisri Syansuri bergabung ke dalam barisan Sabilillah dan menjabat sebagai Kepala Staf Markas Besar Oelama Djawa Timoer (MBO-DT) yang kantornya di belakang pabrik paku Waru, Sidoarjo.


                 Sejak K.H.M. Hasyim Asy'ari wafat pada tahun 1947, jabatan Rais Akbar dihapuskan, diganti dengan Rais Am. Posisi itu dijabat oleh K.H. Abdul Wahab Chasbullah, dimana K.H. Bisri Syansuri ditetapkan sebagai wakilnya. Pada tahun 1971 K.H. Bisri Syansuri menggantikan Kiai Wahab sebagai Rais Am sampai akhir hayatnya.


Karier Politik
 
               Dalam bidang politik, K.H. Bisri Syansuri pernah menjadi anggota BP KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) mewakili Masyumi. Hasil pemilu 1955 mengantarkan dirinya menjadi anggota Dewan Konstituante, sampai lembaga itu dibubarkan oleh Presiden Soekarno lewat dekrit Presiden 5 Juli 1959. Hasil Pemilu 1971 mengantarkan K.H. Bisri Syansuri kembali duduk sebagai anggota DPR RI dari unsur NU. Jabatan itu dipegangnya sampai beliau wafat.


              Ketika PPP dibentuk oleh pemerintah Orde Baru dari unsur-unsur partai Islam peserta pemilu 1971, K.H. Bisri Syansuri ditunjuk sebagai Rais Am majlis syuro partai tersebut. Dalam beberapa forum, sikapnya dikenal keras dan sulit diajak kompromi. Sebab sudut pandang yang dipakai lebih banyak pada kacamata fiqh ansich. Namun K.H. Bisri Syansuri selalu konsisten dengan sikapnya.Peristiwa dalam Sidang Umum MPR 1978 adalah salah satu contohnya.


              Selain berkakak ipar K.H.A. Wahab Chasbullah, K.H. Bisri Syansuri juga berbesan dengan K.H.M. Hasyim Asy'ari, gurunya. K.H.A. Wahid Hasyim, menikah dengan Hj. Solichah, putrinya. Dari merekalah lahir K.H. Abdurrahman Wahid, alias Gus Dur, yang telah menjadi Presiden Republik Indonesia ke-4 (20 Oktober 1999 - 23 Juli 2001).


Sampai akhir hayatnya K.H. Bisri Syansuri masih menjadi anggota DPR, Rais Am PBNU, Rais Am Majlis Syuro DPP PPP, di samping aktif mengasuh Pondok Pesantren Denanyar yang didirikannya sejak tahun 1917. K.H. Bisri Syansuri wafat di Jombang pada tanggal 25 April 1980 dalam usia 94 tahun, dan dimakamkan di komplek Pesantren Denanyar.


Ahli dan Pecinta Fiqih 
 
        Karakter sebagai pecinta Fiqih terbentuk ketika K.H. Bisri Syansuri nyantri kepada K.H. Kholil Bangkalan, dan semakin menguat setelah nyantri di Tebuireng.K.H. Bisri Syansuri memang sengaja mendalami pokok-pokok pengambilan hukum agama dalam fiqh, terutama literatur fiqih lama.


Tidak mengherankan jika K.H. Bisri Syansuri begitu kukuh dalam memegangi kaidah-kaidah hukum fiqih, dan begitu teguh dalam mengkontekstualisasikan fiqh kepada kenyataan-kenyataan hidup secara baik.


            Walaupun begitu, K.H. Bisri Syansuri tidak kaku dan kolot dalam berinteraksi dengan masyarakat.Hal itu setidaknya terlihat dari upayanya dalam merintis pesantren yang dibangunnya di Denanyar.


            Pertengahan Juni ini, Ponpes Mambaul Maarif Denanyar, Jombang, memiliki hajat besar.Ribuan orang diperkirakan memadati lokasi pesantren untuk menghadiri agenda acara tahunan Haul ke-31 wafatnya KH.Bisri Syansuri dan bersama-sama meneladani keteguhan prinsip dan kecintaannya kepada ilmu fiqih, Islam dan bangsa.


Pembicarakan kisah hidup K.H. Bisri Syansuri berarti membicarakan kecintaan seorang ulama terhadap ilmu fiqih.Karena saking cintanya, K.H. Bisri Syansuri dikenal sebagai ulama yang tegas memegang prinsip.KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang juga cucunya sendiri, menyebut K.H. Bisri Syansuri sebagai "Pecinta Fiqih Sepanjang Hayat" yang ter-muat sebagai judul buku yang beliau tulis.


                  Ada kisah menarik yang termuat dalam buku Gus Dur.K.H. Abdul Wahab Chasbullah sering sekali berbeda pendapat dengan K.H. Bisri Syansuri.K.H. Abdul Wahab Chasbullah, menurut Gus Dur, lahir sebagai anak kaya di Bibis, Kota Surabaya.Ibunya memiliki ratusan rumah di daerah tersebut yang disewa oleh orang-orang Arab pada paruh kedua abad ke-19 Masehi.


                Sebaliknya, K.H. Bisri Syansuri lahir beberapa tahun kemudian, di tengah-tengah keluarga miskin di kawasan Tayu Wetan, Pati, Jawa Tengah.Dia belajar di pesantren lokal dan kemudian di pesantren K.H. Cholil, Demangan, Bangkalan.Di sanalah dia bertemu dengan K.H. Abdul Wahab Chasbullah.


K.H. Bisri Syansuri muda dapat terus menjadi santri karena beliau mencuci pakaian dan menanak nasi untuk kawan barunya itu, Kiai Wahab muda.Segera K.H. Bisri Syansuri muda menjadi orang kepercayaan K.H. Abdul Wahab Chasbullah muda karena jujur dan rajin.Jadi, urusannya sudah bukan lagi menyangkut pakaian dan makanan, tetapi sudah berkaitan dengan watak dan tempramen.Walaupun begitu, keahlian ilmu agama Islam kedua orang itu juga saling berbeda.


             Perbedaannya terletak pada bidang ilmu agama yang mereka senangi.K.H. Abdul Wahab Chasbullah senang pada ilmu ushul fiqh, sedangkan K.H. Bisri Syansuri menyukai tafsir dan hadits Nabi Muhammad SAW. Bidang itu juga dinamai kajian naqly, bertumpu kepada ayat-ayat Alquran dan hadits Nabi Muhammad SAW.


Karena itu, K.H. Bisri Syansuri tidak banyak berkutat dengan penggunaan akal (rasio) sebagaimana K.H. Abdul Wahab Chasbullah.Pernah K.H. Abdul Wahab Chasbullah bertanya kepada Gus Dur; "Saya dengar kakekmu itu tidak pernah makan di warung?"Gus Dur menjawab, "Memang benar demikian.


              K.H. Abdul Wahab Chasbullah kembali bertanya, "Mengapa?"Gus Dur menjawab, "K.H. Bisri Syansuri tidak menemukan hadits yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah makan di warung."K.H. Abdul Wahab Chasbullah mengatakan; "Ya, tentu saja karena waktu itu belum ada warung."


               Tetapi pergaulan mereka, tokoh tekstual di satu sisi dan tokoh satunya yang senang menggunakan rasio, ternyata sangat erat.Hal ini tampak ketika ada bahtsul masail.Gus Dur pernah menyaksikan sekitar 40-an orang kyai berkumpul dari pagi hingga sore hari di ruang tamu K.H. Bisri Syansuri.Ternyata, keduanya berdebat seru, yang satu membolehkan dan yang satu lagi melarang sebuah perbuatan.


Demikian seru mereka berbeda, hingga akhirnya semua kyai yang lain menutup buku/kitab mereka dan mengikuti saja kedua orang itu berdebat. Sampai-sampai, baik                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          K.H. Abdul Wahab Chasbullah maupun K.H. Bisri Syansuri berdiri dari tempat duduk mereka sambil memukul-mukul meja marmer yang mereka gunakan berdiskusi.Muka keduanya memerah karena bertahan pada pendirian masing-masing.


            Akhirnya kemudian K.H. Abdul Wahab Chasbullah menyerang, "Kitab yang Sampeyan gunakan adalah cetakan Kudus, sedangkan kitab saya adalah cetakan Kairo." Ini adalah tanda K.H. Abdul Wahab Chasbullah kalah argumentasi dan akan menerima pandangan K.H. Bisri Syansuri. Walau pada forum bahtsul masail itu mereka berbicara sampai memukul-mukul meja dengan wajah memerah, namun ketika tiba-tiba beduk berbunyi, K.H. Bisri Syansuri segera berlari ke sumur di dekat ruang pertemuan tersebut. Di sana, dia naik ke pinggiran sumur dan menimbakan air wudhu bagi iparnya itu. Beda pendapat boleh tapi harus tetap rukun.Demikian kira-kira pegangan mereka.


Kisah menarik lainnya terdapat di buku "Menapak Jejak Mengenal Watak, Sekilas Biografi 26 Tokoh NU".Dalam resepsi penutupan Kongres Gerakan Pemuda Ansor di Surabaya, April 1980, Pengasuh Pesantren Tebuireng K.H. Yusuf Hasyim (Pak Ud) membisiki seseorang, "Sakitnya K.H. Bisri Syansuri semakin parah.Beliau dalam keadaan tidak sadar siang tadi ketika saya tinggalkan berangkat kemari," ujarnya.Orang yang diberitahu tersentak mendengar bisikan itu.Sebab tiga hari sebelumnya, dia ikut hadir di ruang tamu rumahnya, sewaktu pendiri dan pemimpin Ponpes Mambaul Maarif itu menerima Probosutedjo, pengusaha kenamaan dan adik Presiden Soeharto.


Probosutedjo diundang untuk memberikan ceramah tentang kewiraswastaan dalam Kongres Ansor di Surabaya.Kehadirannya memenuhi undangan tersebut dimanfaatkan sekaligus untuk mengunjungi K.H. Bisri Syansuri yang sedang dalam keadaan sakit.Ketika itu K.H. Bisri Syansuri menjemput sendiri tamunya di teras tempat kediamannya.Bersarung putih dengan garis kotak-kotak kebiruan, mengenakan baju putih dan berkopiah haji.K.H. Bisri Syansuri mempersilakan tamu dari Jakarta itu memasuki ruang depan rumahnya yang tua dan berperabotan sederhana.


              Wajahnya, seperti biasa, tampak jernih.Dengan sabar penuh perhatian beliau mendengarkan setiap kata yang diucapkan oleh tamunya. Dan dengan suara lembut beliau menjawab setiap pertanyaan, menjawab salam dari Presiden Soeharto yang disampaikan oleh Probosutedjo dan dengan halus menolak tawaran berobat ke luar negeri.


Terdapat pula kisah K.H. Bisri Syansuri dalam buku "Antologi NU; Sejarah, Istilah, Amaliah, Uswah" jilid I. Saat berlangsung Sidang Umum MPR tahun 1978 ada peristiwa luar biasa. Fraksi PPP tidak sepakat dengan keputusan fraksi lain. Setelah berkali-kali adu argumentasi mengenai rancangan ketetapan MPR tentang P4 namun tetap tidak membuahkan hasil.Sementara partai sudah menggariskan untuk memegang teguh amanat itu, mereka pun keluar sidang.


            Seluruh anggota Fraksi PPP segera berdiri. Dipimpin langsung oleh K.H. Bisri Syansuri, mereka beriringan walk out sebagai tanda tidak setuju terhadap hasil keputusan. Meski sudah berusia 92 tahun, kyai yang menciptakan lambang ka'bah bagi PPP itu malah berjalan paling depan.


              Ketegasan lain nampak tatkala DPR membahas RUU tentang perkawinan. Secara kesluruhan RUU itu dinilai banyak bertentangan dengan ketentuan hukum agama Islam.Maka, di mata K.H. Bisri Syansuri, menghadapi kasus itu, tidak ada alternatif lain kecuali menolaknya.


                Langkah pertama yang K.H. Bisri Syansuri lakukan adalah dengan mengumpulkan sejumlah ulama di daerah Jombang untuk membuat RUU tandingan yang akan diajukan ke DPR-RI. Setelah RUU tandingan itu selesai dibahas, lalu disampaikan ke PBNU, yang diterima secara aklamasi.


                  Setelah itu amandemen RUU itu diajukan ke Majelis Syuro PPP dan diterima.DPP PPP memerintahkan Fraksi PPP DPR-RI agar menjadikan RUU tandingan itu sebagai rancangan yang diterima dan harus diperjuangkan. Setelah melalui proses yang panjang dan melelahkan, serta lebih banyak dilakukan di luar gedung DPR-RI, akhirnya RUU itu disahkan setelah ada revisi dan tidak lagi bertentangan dengan hukum Islam.


Pecinta Ilmu Sejati

             Di sisi pergerakan, K.H. Bisri Syansuri bersama-sama para kiai muda saat itu antara lain K.H. Abdul Wahab Chasbullah, K.H. Mas Mansyur, K.H. Dahlan Kebondalem dan K.H. Ridwan, membentuk klub kajian yang diberi nama Taswirul Afkar (konseptualisasi pemikiran) dan sekolah agama dengan nama yang sama, yaitu Madrasah Taswirul Afkar. Sedangkan keterlibatannya dalam upaya pengembangan organisasi NU antara lain berupa pendirian rumah-rumah yatim piatu dan pelayanan kesehatan yang dirintisnya di berbagai tempat.


        Meski dikenal tegas dalam mempertahankan prinsip, kesantunan K.H. Bisri Syansuri juga tak perlu diragukan.Saat berlangsungnya Muktamar NU ke-24 pada tahun 1967 di Bandung, K.H. Bisri Syansuri menunjukkan sikap tawadlu' yang perlu kita teladani.


           Ketika itu sedang terjadi pemilihan Rais Am yang melibatkan "rivalitas" antara dua kyai sepuh yang sama-sama berwibawa, yaitu K.H. Abdul Wahab Chasbullah Rais Syuriah PBNU.Hasil pemilihan ternyata di luar dugaan.Walaupun lebih muda, tiba-tiba K.H. Bisri Syansuri bisa meraih suara terbanyak.K.H. Abdul Wahab Chasbullah pun menerima kekalahan dengan berbesar hati, apalagi yang mengalahkan sahabat dekatnya sekaligus adik iparnya sendiri.


            Demikian halnya K.H. Bisri Syansuri yang memperoleh kemenangan juga sangat rendah hati. Walaupun telah dipilih oleh muktamirin, tetapi kemudian Kiai Bisri segera  memberikan sambutan, selama masih ada K.H. Abdul Wahab Chasbullah yang lebih senior dan lebih alim Kiai Bisri tidak bersedia menduduki jabatan itu. "Karena itu saya menyatakan untuk mengundurkan diri dan kembali menyerahkan jabatan itu kepada K.H. Abdul Wahab Chasbullah."


            Menanggapi sikap K.H. Bisri Syansuri, K.H. Abdul Wahab Chasbullah menerima amanah itu.Tidak perlu merasa tersinggung, karena walaupun sudah uzur tetapi merasa masih dibutuhkan untuk memimpin NU dalam menghadapi situasi sulit masa orde baru. Sementara K.H. Bisri Syansuri dipercaya sebagai Wakil Rais Am. Kemudian ketika K.H. Abdul Wahab Chasbullah wafat pada tahun 1971, baru K.H. Bisri Syansuri menduduki posisi sebagai Rais Am hingga wafat pada tahun 1980.


             Dalam diri K.H. Bisri Syansuri paling tidak melekat tiga karakter sekaligus. Yaitu sebagai perintis kesetaraan gender dalam pendidikan di pesantren, seorang ahli dan pecinta fiqih dan sekaligus seorang politisi.


Perintis Pesantren Wanita Pertama
 
             Rasanya tidak berlebihan kalau K.H. Bisri Syansuri disebut sebagai kyai pertama yang mengusulkan untuk di dirikannya madrasah wanita, khususnya di kalangan pesantren.K.H. Bisri Syansuri-lah orang pertama yang mendirikan kelas khusus untuk santri-santri wanita di pesantren yang didirikannya.Walalupun baru diikuti perempuan-perempuan di desanya.


Di zaman yang masih kental dengan nilai-nilai patrimonial waktu itu, apa yang dilakukan K.H. Bisri Syansuri termasuk kategori "aneh". Untung sang guru yang sangat dihormatinya, hadratussyaikh K.H. Hasyim Asy'ari tidak menentang terobosan yang dilakukannya. Kalau saja hadratussyaikh melarang, niscaya K.H. Bisri Syansuri tidak akan melanjutkan langkah fenomenal yang telah dibuatnya. Hal ini semata-mata karena takdzimnya yang begitu mendalam kepada sang guru yang selalu dipanggilnya "kyai".


Memimpin NU dengan Konsistensi Fiqih
 
           Keterlibatannya dalam upaya dinamisasi NU terlihat jelas dari upayanya mendorong dan menopang berdirinya rumah-rumah yatim piatu di berbagai tempat.


Perkembangan Nahdlatul Ulama (NU) hingga mampu menjadi organisasi massa terbesar di Tanah Air tentu tidak bisa dilepaskan dari faktor sejarah maupun sepak terjang tokoh-tokohnya dalam membesarkan organisasi ini. Terlebih adalah kiprah para pendiri awal yang tanpa mengenal lelah akhirnya berhasil meletakkan dasar-dasar pergerakan organisasi ke depan.


             KH Bisri Syansuri turut terlibat dalam pembentukan NU pada tahun 1926 dan sejak awal menjadi anggota pengurus, walaupun bukan jabatan paling penting.


KH Bisyri Syansuri termasuk salah seorang ulama yang ikut mengambil bagian dalam kelahiran Nahdlatul Ulama dan selama hidupnya selalu mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk kebesaran Nahdlatul Ulama.Beliau juga dikenal sebagai pejuang yang dengan gigih menentang penjajahan Belanda dan Jepang. Pada masa perang kemerdekaan beliau ikut terjun di medan tempur melawan tentara Belanda dan menjabat sebagai ketua Markas Pertahanan Hizbullah-Sabilillah di Jawa Timur, merangkap sebagai wakil ketua Markas Ulama Jawa timur yang dipimpin oleh KH Abdul Wahab Chasbullah.


            K.H. Bisyri Syansuri adalah seorang ulama besar yang memiliki sifat sederhana dan rendah hati.Meskipun demikian beliau dikenal sebagai ulama yang teguh pendirian dan memegang prinsip.Dalam menjalankan tugas beliau selalu istiqamah dan tidak mudah goyah, terutama dalam memutuskan suatu perkara yang berhubungan dengan syari'at Islam.setiap hukum suatu persoalan yang sudah Jelas dalilnya dari Al Quran, Hadits, Ijma atau Qiyas keputusan beliau selalu tegas dan tidak bisa ditawar-tawar.


Mundur dari Jabatan Rais Am
 
           Jasa K.H. Bisri Syansuri dalam membesarkan NU juga tak patut dilupakan.K.H. Bisri Syansuri turut terlibat terlibat dalam pertemuan pada 31 Januari 1926 di Surabaya saat para ulama menyepakati berdirinya NU. Pada periode pertama, K.H. Bisri Syansuri menjadi A'wan Syuriah PBNU dan kemudian pada periode-periode berikutnya K.H. Bisri Syansuri pernah menjadi Rais Syuriah, Wakil Rais Am dan menjadi Rais Am hingga akhir hayatnya.


Wafat
 
            K.H. Bisri Syansuri meninggal dunia dalam usia lanjut yaitu dalam usia 94 tahun, pada tanggal 25 April 1980 di Denanyar, Jombang, Jawa Timur. Makam beliau berada di kompleks Pondok Pesantren Mambaul Maarif Denanyar Jombang, Jawa Timur. Waktu itu kurang setahun K.H. Bisri Syansuri dikukuhkan sebagai Rais Am Pengurus Besar Syuriah Nahdlatul Ulama dalam muktamar di Semarang, Juni 1979.


             Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa K.H. Bisri Syansuri adalah salah satu tokoh pemikir modern yang cukup berperan penting dalam perkembangan pemikiran Islam dan politik di Indonesia.

Posting Komentar