Fenomena Liberalisme di Indonesia
Pemikiran liberal yang berkembang di dunia Islam dewasa ini, setidaknya di Indonesia, memang merupakan fenomena pemikiran yang terlanjur mengemuka dan menemukan momentumnya, sehingga bisa mengakar-menjalar dengan cepat, dan keberadaannya pun sulit ditolak. Namun demikian tidak berarti ia harus diterima.
Paham liberalisme agama yang berkembang di Nusantara jelas bukan produk dalam negeri, apalagi produk Islam. Itulah sebabnya mengapa kalangan liberalis tampak kesulitan untuk menemukan keterpaduan antara asas-asas fundamental dalam Islam dan logika paham liberalisme. Kaum liberalis, misalnya, tak bisa menolak fakta bahwa nama “Islam” yang berarti “tunduk-patuh” jelas berbenturan secara diametral dengan istilah “liberal” yang berarti “bebas tanpa ikatan”. (Adian Husaini dan Nuim Hidayat, 2002).
Karena itu liberalisme jelas merupakan komoditas asing yang diimpor dan dijajakan oleh agen-agen di dalam negeri. Pemikiran inipun terus digulirkan seara kontinu, dan layaknya bola salju, ia terus menggelinding dan membesar. Iklim globalisasi yang mengkondisikan bangsa-bangsa berada dalam situasi “harus” menerima kultur, tradisi, budaya dan pemikiran yang dianggap universal, selanjutnya berperan besar dalam mendongkrak paham ini pada taraf yang “lebih maju”.
“Penampilan” yang dikedepankan kalangan liberalis dalam mengusung paham yang mereka peluk, memberikan kesan kuat betapa ide-ide liberal yang mereka pungut dari dunia Barat yang dianggap maju, diyakini memang memiliki superioritas di atas pemikiran, kultur, dan budaya lain, dan karenanya pantas didakwahkan: bahwa ide-ide liberalisme paling bergengsi, paling modern dan paling maju.
Tapi apa benar pada hakikatnya paham liberalisme beserta segenap unsur-unsur pemikiran dan padanannya, semacam sekularisme, pluralisme agama, feminisme, dan sejenisnya, memang menggambarkan nilai-nilai kemajuan menurut Islam, sehingga nama “Islam Progresif”, “Islam Pluralis”, “Islam Toleran”, “Islam Modernis”, dan sesamanya, memang selayaknya disandang oleh kaum liberalis?
* * *
Tulisan singkat ini secara spesifik akan menyoroti, membedah dan mengkritisi paham pluralisme agama; salah satu unsur pemikiran yang rutin diusung kalangan liberal, dan dikesankan sebagai gagasan baru, modern, bergengsi, dan paling sesuai dengan nilai-nilai universal umat manusia saat ini, yang lebih berkecenderungan pada nilai-nilai kemanusiaan, toleransi dan persamaan, ketimbang mempertahankan label-label yang berbeda di level teologis.

Arti dan Tujuan Pluralisme Agama
Sebetulnya, para ahli telah melakukan riset yang amat mendalam seputar paham pluralisme agama, dan telah memberikan penjelasan kepada kita akan arti, hakikat, dan tujuan ide ini dimunculkan oleh Barat. Namun, sebagaimana telah maklum, kalangan liberalis rajin bermain curang. Agar gagasan ini bisa dengan mudah diterima masyarakat, mereka menyembunyikan hakikat dan tujuan paham ini, dan mengalih-artikan “pluralisme agama” pada “toleransi beragama”. Kalangan liberalis tampak punya masalah dengan “moral ilmiah” mereka.
Kajian literatur yang dilakukan oleh Dr. Anis Malik Thoha (pakar bidang perbandingan agama di International Islamic University Malaysia–IIUM) dalam buku beliau Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis (hlm. 14-16), sampai pada kesimpulan bahwa secara ilmiah, jika kata “agama” (dengan definisinya yang baku) disandingkan dengan istilah “pluralisme”, seharusnya melahirkan paham yang tetap mempertahankan ciri-ciri spesifik ajaran masing-masing agama.
Namun faktanya, dalam konteks di mana istilah “pluralisme agama” digunakan dalam studi-studi wacana-wacana sosio-ilmiah dewasa ini, istilah ini menemukan definisi dirinya yang sangat berbeda dengan yang dimiliki semula. Dengan mengacu pada definisi versi Bapak Pluralisme John Hick, Dr. Anis berkesimpulan bahwa “pluralisme agama” yang berlaku, diakui dan diterapkan saat ini, adalah paham bahwa agama merupakan manifestasi-manifestasi dari realitas yang satu, yang memosisikan agama secara setara dan tak ada yang lebih baik antara yang satu dengan yang lain.
Dari sini, masih menurut Dr. Anis, agama telah dikungkung dalam ruang privat yang sangat sempit, dan dipandang hanya sebatas sebagai konsep hubungan manusia dengan kekuatan sakral-transendental ketimbang sebagai sistem sosial. Dengan demikian, di sini telah terjadi proses pengebirian dan reduksi pengertian agama yang sangat dahsyat. Dan, pemahaman agama yang reduksionistik inilah yang menjiwai pemikiran dan praktik “pluralisme agama” saat ini.
Sementara itu Dr. Syamsuddin Arif melakukan pelacakan secara akurat akan tujuan utama dari ide pluralisme agama ini. Dalam safari ilmiah yang sempat penulis ikuti, beliau membongkar motif utama ide pluralisme agama yang rupanya tersembunyi di balik gagasan “dialog antar-agama”. Karena itu beliau menyebut gagasan dialog antar-agama dari Barat yang berkembang dewasa ini sebagai taktik “Kuda Troy” dari Vatikan.
Sejak berabad-abad lamanya, Gereja Katolik mengajarkan bahwa Kristen adalah satu-satunya agama yang benar. Doktrin ini kemudian dikenal sebagai “eksklusifisme”. Namun pada tahun 1962, Gereja Vatikan meninjau kembali status dan hubungan agama-agama lain, dan mengubah paham eksklusifisme pada inklusifisme. Dengan sikap yang baru ini, Gereja melihat agama-agama lain sebagai pantulan cahaya kebenaran yang menerangi seluruh umat manusia.
Karena itulah Vatikan kemudian menganjurkan diwujudkannya dialog antar-agama. Namun, masih dalam penelitian Dr. Syamsuddin Arif, dalam dokumen Konsili Vatikan II itu ternyata ditemukan tujuan sesungguhnya dari ide dialog antar-agama ini, yakni sebagai upaya halus agar seluruh manusia menjadi ‘anak-anak Tuhan Bapak di Sorga’. Dari sini, dialog antar-agama akan membawa pada pluralisme agama, selanjutnya mengantarkan pada paham relativisme. Lalu muncullah bidah “doa bersama”, fenomena nikah antar-agama, dan pindah agama. (Dr. Syamsuddin Arif dalamInterfaith Dialogue: ‘Kuda Troy’ dari Vatican?).

Pluralisme Agama Jahiliah
Betapapun telah jelas bahwa pluralisme agama berasal dari dunia Kristen Barat dan menyimpan tujuan jahat, namun para liberalis-pluralis tetap giat mempromosikan ajaran ini, dengan cara mengait-ngaitkan paham ini dengan landasan-landasan Islam, dan mengesankan seolah-olah ia sama sekali tidak bertentangan dengan Islam. Budhy Munawar Rachman, misalnya, menulis buku “Islam Pluralis”, Zuhairi Misrawi menulis “Al-Qur’an Kitab Toleransi”, Abd. Moqsith Ghazali menulis “Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an”.
Tapi bagaimanapun, jika kita membaca kembali fenomena keberagamaan periode pra-Islam, tampaknya tren “pluralisme agama” telah berkembang subur dalam tradisi keberagamaan masyarakat Arab jahiliah. Jika asumsi penulis di sini benar adanya, maka paling tidak ini akan membuyarkan kesan “modern” dan “maju” dari paham pluralisme agama. Karena ternyata paham ini tidak saja tumbuh di dunia Kristen Barat yang oleh kalangan liberalis-pluralis dianggap “modern”, tapi juga pernah dipeluk oleh masyarakat Arab jahiliah yang oleh siapapun dianggap terbelakang.
Bahwa paganisme yang berkembang di dunia Arab jahiliah adalah penyimpangan dari agama wahyu Nabi Ibrahim u. Masing-masing kabilah pada masyarakat Arab pagan memiliki berhala-berhala tersendiri sebagai tuhan mereka. Namun meski masing-masing telah memiliki tuhan-tuhan tersendiri, mereka juga kerap melakukan pemujaan di hadapan berhala-berhala kabilah lain; suatu bukti betapa pluralisme agama begitu nge-tren dalam tradisi keberagamaan masyarakat Arab jahiliah.
Abul-Mundzir, sebagaimana dikutip Ibnul-Kalbi dalam bukunya al-Ashnâm (Berhala-Berhala), mengatakan: Bagi suku Quraisy di Mekah dan orang-orang yang bermukim di sana, tak ada berhala yang lebih mereka hormati daripada Uzza, Lata, dan Manath. Orang-orang Quraisy memiliki berhala khusus yang disebut “Uzza”. Penduduk Tsaqif memiliki tuhan sendiri yang disebut “Lata”. Sedangkan suku Aus dan Khazraj memiliki berhala tersendiri yang disebut “Manath”.
Namun meski demikian, suku Quraisy juga mengakui tuhan-tuhan selain Uzza, menaruh hormat dan melakukan pemujaan terhadap tuhan-tuhan kabilah lain, kendati tak setara penghormatan tinggi yang mereka berikan pada Uzza. Adapun suku-suku Arab non-Quraisy, kendati juga memiliki tuhan-tuhan tersendiri, namun mereka semua bersepakat jika Uzza (berhala suku Quraisy) adalah tuhan teragung, dan karena itu mereka juga berbakti pada Uzza. (Ibnul-Kalbi, al-Ashnâm, hlm. 1-11).
Bahkan lebih dari itu, selain mengakui bahwa kebenaran dipancarkan oleh berhala-berhala yang berbeda, ternyata masyarakat Arab jahiliah juga beriman kepada tuhan Allah. Itulah sebabnya mengapa kita banyak menjumpai nama “Abdullah” pada masyarakat Arab pra-Islam. Dalam al-Qur’an dinyatakan: “Jika kamu bertanya kepada mereka: ‘siapa yang menciptakan langit dan bumi?’ Mereka akan menjawab ‘Allah’” (QS. Luqman [31]: 25). Hanya saja konsepsi tuhan “Allah” versi masyarakat jahiliah berbeda sama sekali dengan yang diajarkan oleh Islam kemudian. Karena “Allah” versi jahiliah adalah salah satu tuhan dari sekian banyak tuhan yang mereka imani. Dalam al-Qur’an ditegaskan: “Kebanyakan mereka tidak beriman kepada Allah melainkan mereka juga menyekutukan-Nya dengan yang lain”. (QS. Yusuf [12]: 106). (Fakhruddin ar-Razi, Mafâtihul-Ghaib, vol. IX hlm. 126). Karena konsepsi yang berbeda inilah orang-orang kafir berkeberatan dengan ”Allah” umat Islam, dan pada gilirannya menawarkan opsi pluralisme agama.
Al-Imam al-Wahidi dalam Asbâbu Nuzulil-Qur’ân (hlm. 162) menuturkan, bahwa suatu ketika sekelompok orang kafir Quraisy menemui Nabi e dan mengajukan penawaran kepada beliau e. Mereka berkata: “Muhammad, bagaimana jika kita bertukar agama untuk sementara waktu; Kamu menyembah agama kami satu tahun dan kami akan menyembah agamamu satu tahun. Jika memang agamamu lebih baik, berarti kami telah mendapat bagian dari kebaikan itu. Dan jika agama kami lebih baik, berarti kamu telah mengambil bagian dari kebaikan itu.”
Tentu saja Nabi Muhammad e menolak tawaran tersebut dengan tegas. Beliau e menjawab: “Aku berlindung kepada Allah untuk menyekutukan-Nya dengan yang lain.” Peristiwa inilah yang sebetulnya menjadi penyebab diturunkannya surat al-Kâfirûn, yang menjadi bukti penolakan tegas Islam terhadap pluralisme agama atau paham membenarkan semua agama. Keesokan harinya, Rasulullah e membacakan surat al-Kâfirûn di Masjidil-Haram sampai tuntas, disaksikan orang-orang kafir Quraisy. Mendengarkan bacaan surat tersebut, orang-orang kafir Quraisy pun berputus asa untuk bisa menghentikan aktivitas dakwah Nabi Muhammad e.

Kesimpulan dan Penutup
Dengan pemaparan di atas, tak bisa dimungkiri bahwa fakta perbedaan tuhan-tuhan yang disembah oleh masing-masing kabilah dalam masyarakat Arab jahiliah, namun tidak menghalangi mereka untuk tukar-menukar sesembahan, adalah pratik dan bentuk yang paling sempurna dari paham pluralisme agama sebagaimana dipahami, diimani, dan diusung oleh kalangan liberalis-pluralis dewasa ini.
Ulasan di atas juga memberitahu kita bahwa paham pluralisme agama masyarakat Arab jahiliah tersebut sama sekali ditolak oleh Islam tanpa reserve. Hal ini berarti sejak semula ideologi usang masyarakat jahiliah yang terbelakang itu telah ditinggalkan secara total, dan karenanya upaya untuk menghidupkan kembali paham pluralisme agama itu sama artinya dengan usaha untuk kembali pada periode kegelapan pra-Islam (jahiliah). Wallâhu a‘lam bish-shawâb.
___
Penulis: Moh. Achyat Ahmad

Posting Komentar