Paling tidak, ada 3 tokoh besar Islam lintas zaman yang membuat karangan
tentang cinta menurut persfektif masing-masing.
Yang pertama adalah
Imam Al-Ghazali. Dalam kitab Al-Mahabbahnya, beliau mengatakan bahwa
cinta kepada Allah adalah tujuan puncak dari seluruh maqam spiritual dan
ia menduduki level yang tinggi.
"(Allah) mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya." (QS. 5: 54).
Dalam tasawuf, setelah di raihnya maqam mahabbah ini tidak ada lagi
maqam yang lain kecuali buah dari mahabbah itu sendiri.
Pengantar-pengantar spiritual seperti sabar, taubat, zuhud, dan lain
lain nantinya akan berujung pada mahabatullah (cinta kepada Allah).
Yang kedua adalah Imam Ibn Hazm Al-Andalusi Az-Zhohiri. Buku Tauqul
Hamamah -nya ( Thauq al- Hamâmah fî al-Ulfah wa al-Ulâf ) menyorot
tentang cinta antara manusia dengan pandangan yang realistis. Sangat
kontras dengan Al-Mahabbah versi Imam Al-Ghazali yang lebih menyorot
konsep cinta manusia dengan Rabb-nya. Buku ini cenderung bernuansa
Sastra klasik walaupun isinya sendiri banyak menggambarkan konsep Ibn
Hazm dalam memegang Dienul Islam Ini. Ketinggian nilai bahasanya serta
kedalaman maknanya menjadikan buku ini salah satu referensi utama dalam
psikologi cinta klasik di eropa.
Menurut Ibnu Hazm, cinta itu sulit diuraikan. Tetapi pada orang yang
jatuh cinta terdapat pertanda.Pertama, kecanduan memandang orang yang
dikasihi. Kedua, segera menuju ke tempat kekasih berada, sengaja duduk
di dekatnya dan mendekatinya. Ketiga, gelisah dan gugup ketika ada
seseorang yang mirip dengan orang yang dicintainya. Keempat, kesediaan
untuk melakukan hal-hal yang sebelumya enggan dilakukannya. Adapun yang
mencoreng cinta menurut Ibnu Hazm adalah berbuat maksiat dan mengumbar
hawa nafsu.
Diantara tulisan beliau dalam buku tersebut, “Cinta awalnya permainan
dan akhirnya kesungguhan. Dia tidak dapat dilukiskan, tetapi harus
dialami agar diketahui. Agama tidak menolaknya, syariat pun tidak
melarangnya."
Yang ketiga adalah Imam Ibn Qayyim Al-Jauziyah. Ulama besar ahli hukum
yang dikenal juga sebagai Ahli 'Penyakit dalam / penyakit jiwa dan hati'
ini menjelaskan konsep cinta dalam persfektif tersendiri. Buku
Raudhatul Muhibbin wa Nuzhatul Musytaqin yang beliau karang, mencoba
untuk memandang dua konsep cinta diatas (cinta hamba kepada Rabb-nya dan
Cinta hamba sesamanya) dengan pandangan yang lebih berimbang.
Di awal buku, Ibnul Qayyim terlebih dahulu mencoba mendefenisikan cinta
itu tersendiri. Beliau berkata “Karena pengertian manusia tentang
istilah cinta ini sangat mendalam dan lebih banyak berkaitan dengan hati
mereka, maka tidak heran jika nama-nama lain untuk istilah cinta juga
cukup banyak. Ini hal yang sangat lumrah dalam suatu yang dipahami
secara mendalam atau rentan bagi hati manusia". Menurut beliau, ada
lebih 50 padanan makna yang sesuai dengan kata Al-Hubb / cinta,
diantaranya sebagai berikut :
Cinta bermakna kesucian, kebeningan dan kejernihan.
Cinta bermakna percikan dan riak, seperti riak dan percikan air yang
tampak ketika hujan deras turun. Begitu juga dengan cinta seseorang
membuat hati beriak ketika teringat dengan sang kekasih.
Cinta bermakna teguh dan tidak berpindah, sebagai-mana teguhnya unta
ketika ia duduk diperintah oleh majikannya, sekalipun banyak batu cadas
yang melukainya, begitu pula dengan cinta ketika ia telah terbuhul kuat,
maka ia tidak akan mau berpindah ke pada yang lain.
Cinta bermakna inti, isi dan biji yang dijadikan benih.
Cinta bermakna bejana besar dan berisi penuh yang tidak mungkin lagi
dimuat dengan sesuatu yang lain, begitu pula dengan cinta ketika ia
telah memenuhi hati, ia tidak dapat diisi dengan sesuatu yang lain.
Cinta juga bermakna tungku sebagai tempat pembakaran yang diatasnya
diletakkan sesuatu, begitu juga dengan cinta, ia menerima beban yang
dipikul atas nama cinta.
Imam Ibnul Qayyim dalam kitab ini juga membagi Cinta ke dalam beberapa
tingkatan, yang pertama adalah Al-Alaqoh yaitu adanya ikatan dan
hubungan seseorang dengan kekasihnya. Yang kedua adalah Ash-shobaabah
artinya orang tersebut mencurahkan atau menumpahkan cintanya kepada
kekasihnya.
Yang ketiga adalah Al-Ghorom, yaitu melekatnya rasa cinta di dalam
hatinya sampai-sampai kecintaan tersebut takkan bisa lagi dipisahkan
dari dirinya. Yang keempat adalah Al-'Isd yaitu rasa cinta yang
berlebihan dan mengandung syahwat. Mencintai lawan jenis karena
fisiknya. Yang kelima adalah Asy-syauq yaitu Hati yang serasa berjalan
dan terbang menuju yang dikasihinya. Yang keenam At-Tatayum yaitu
penghambaan, pemujaan kepada seseorang yang dia cintai dan ini
mengandung makna ketundukan, menghinakan dirinya kepada kekasihnya,
seperti budak, seorang hamba sahaya yang menundukkan kecintaannya pada
tuannya.
Dan yang selanjutnya adalah Al-Hullah dan ini adalah puncaknya
kecintaan, kecintaan yang paling sempurna dan penghabisannya sehingga
tidak tersisa lagi kecintaan di dalam hatinya kecuali kepada sang
kekasih.
Salah satu kutipan dalam kitab beliau yang terkenal adalah ucapan
beliau, “Cinta itu mensucikan akal, mengenyahkan kekhawatiran,
memunculkan keberanian, mendorong berpenampilan rapi, membangkitkan
selera makan, menjaga akhlak mulia, membangkitkan semangat, mengenakan
wewangian, memperhatikan pergaulan yang baik, serta menjaga adab dan
kepribadian. Tapi cinta juga merupakan ujian bagi orang-orang yang
shaleh dan cobaan bagi ahli ibadah.”
Konsep cinta versi Ibnul Qayyim sendiri bisa dipakaikan dalam hubungan
sesama Makhluk maupun kepada Allah. Tentunya kalau kita gabungkan 3
konsep besar dari ulama ini, kita akan mengambil kesimpulan bahwa cinta
sesama manusia itu sendiri merupakan hal yang tidak bisa dihindari,
walau begitu seorang mu'min yang ta'at dan cinta kepada Allah akan
selalu menyandarkan cintanya hanya kepada Allah, atau dalam bahasa lain
bahwa cintanya kepada manusia adalah sebab mencintai Allah juga.
Konsekuensi ketika seseorang mencintai manusia karena Allah adalah bahwa
dalam mencintai manusia tersebut, ia tidak akan melewati pagar-pagar
syari'at yang telah ditetapkan oleh Allah. Ia akan selalu menjaga
cintanya hanya kepada Allah. Dalam sebuah hadits riwayat Imam Bukhori
dan Imam Muslim dari Sahabat Anas bin Malik, Rasulullah menyebutkan ada 3
golongan yang akan merasakan manisnya iman, salah satunya adalah yang
mencintai seseorang semata-mata hanya karena Allah.
Dari hal diatas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa pembahasan tentang
cinta sendiri merupakan hal yang sangat menarik dari dulunya, dan
bahasan ini tidak mengenal sekat. Semua orang bahkan para Ulama pun ikut
membahasnya. Bahasan cinta bukanlah hal yang tabu karena ia adalah
fitrah manusia yang diberikan Allah kedalam Hati mereka. Yang jadi
masalah adalah ketika cinta menjauhkan seseorang dari Yang Maha
Mencinta, Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Bagaimana mungkin kita
mengaku mencintai seorang kekasih karena Allah lalu kita lakukan
larangan yang telah Allah tetapkan bagi kita ?
Posting Komentar