Jika sukses membawa Jokowi ke Istana Negara, James Riyadi dan kelompok konglomerat Cina di Indonesia, bukan hanya sukses menguasai ekonomi dan poliltik, tetapi dengan payung politik dan lobbi di Istana, maka James Riyadi akan semakin leluasa untuk mengembangkan kristen - evengelist di Indonesia. James Riyadi dan Jokowi sama-sama annggota Rotary Club. Mungkinkah Islam hanya tinggal nama di Indonesia? Dengan begitu luar biasa gerakan kristenisasi James Riyadi yang didukung kekuatan dana dan sarana, serta gereja internasional, termasuk sejumlah lobbi di Washington
Di bagian lain, menurut Permadi, yang mengaku sebagai “Penyambung Lidah Bung Karno”, mengomentari tentang Jokowi, yang belakangan ini namanya melambung berdasarkan survei-survei, menegaskan bahwa Jokowi itu didukung oleh konglomerat Cina. Permadi menyebutkan nama-nama konglomerat Cina, diantaranya seperti James Riyadi, Sofyan Wanandi, Ciputra, Tomy Winata, dan puluhan konglomerat Cina lainnya.
Menurut Permadi, orang seperti Jokowi itu, tidak akan bisa menjadi pembela rakyat dan Indonesia, justru akan menjadi pengkhianat. Jokowi juga bukan kader ideologis PDIP, tambah Permadi. Jika Jokowi berkuasa, tentu yang paling diuntungkan kelompok Cina dan kepentingan Barat di Indonesia.
Berdasarkan informasi yang sifatnya “inside” seperti diungkapkan oleh Permadi, menjelaskan Jokowi hanyalah akan menjadi “boneka” kepentingan-kepentingan para “stake holder” (pemangku kuasa), yaitu antara Cina dan Barat.
Ada peristiwa yang menjadi isyarat penting, dan sejatinya mewakili kepentingan Barat, yaitu pertemuan antara Jokowi dengan Menteri Luar Negeri Inggris, William Hague. Dengan “cover” membahas soal korupsi. Ini tidak lazim.
Pertemuan Jokowi dengan William Hague itu, pertama antara pejabat sekapasitas Gubernur dengan Menteri Luar Negeri Inggris, yang merupakan peristiwa pertama kali pula dalam sejarah Indonesia. Pertemuan itu, hanyalah menegaskan dukungan Barat kepada Jokowi, dan diwakili oleh Menlu Inggris, William Hague.
Sekarang bagaimana nasib SBY, dan apa yang harus dilakukannya? Jika Barat tidak mengakomodasi Prabowo, dan sebaliknya mendukung Jokowi?
Sejatinya, SBY ingin menitipkan nasibnya dan keluarganya kepada Prabowo, tetapi semua itu tidak akan ada yang bisa menjamin. Karena, di manapun, nasib para sekutu Barat, jika sudah tidak berguna lagi bagi mereka, maka ditinggalkan, dan Barat mendukung rezim yang baru.
Jalan yang harus ditempuh SBY, jika dia berani memperpanjang kekuasaannya dengan cara mengeluarkan “dekrit”, dan dengan dukungan militer.
Kemudian membatalkan pemilu, membubarkan partai-partai politik, menata kembali kehidupan politik, membentuk pemerintahan “zaken” (profesional) bukan dari kubu partai, dan sepenuhnya mengontrol media, dan menegakkan aturan dan hukum, serta membatalkan semua undang-undang produk reformasi.
Rakyat sudah letih dan muak selama reformasi, satu setengah dekade ini, melihat partai-partai politik, dan tidak menghasilkan apapun bagi kehidupan rakyat. Rakyat semakin miskin. Hanya kalangan etnis Cina yang sangat diuntungkan. Kebebasan yang sangat bebas, tidak menghasilkan apapun, dan hanyalah kekacauan.
Hanya dengan cara itu, SBY akan dapat selamat, dan dia bisa menjadi 'pahlawan' bagi rakyat, sambil mempersiapkan tokoh-tokoh baru, selama lima tahun ke depan. Tokoh-tokoh yang benar-benar bisa menjamin dan menjaga kepentingan nasional Indonesia.
Kepentingan Cina dan Barat di Indonesia, sudah sangat berlebihan, dan semua itu hanyalah menghancurkan bangsa. Tidak ada yang lain.
Jika SBY tidak melakukan langkah-langkah penting, maka suatu saat akan terjadi ledakan sosial yang sangat dahsyat, akibat terjadinya kesenjangan sosial, yang tidak terjembatani lagi. Antara kalangan “the have” dengan “the have not”.
Indikator itu, jika diukur dengan indek gini, di mana sudah mencapai 43 persen, ini menandakan sudah masuk lampu kuning. Jika sudah memasuki 45 persen, itu berarti lampu merah. Jika itu terjadi akan pasti terjadi ledakan yang hebat. Tak ada lagi kekuatan yang dapat menghalangi ‘revolusi’ yang digerakkan oleh kesenjangan sosial itu.
Di era reformasi rakyat miskin semakin miskin. Karena mereka tidak memiliki akses politik dan ekonomi. Partai-partai politik yang ada hanyalah menjadi broker politik, dan tidak pernah menjadi penjaga kepentingan rakyat secara luas.
Kesenjangan itu terjadi akibat perbedaan ‘income’ perkapita antara kalangan “the haves” terutama orang-orang Cina dan konglomerat Cina yang sudah menguasai 80 persen asset ekonomi Indonesia.
Kalangan Cina dan konglomerat Cina, income mereka sudah mencapai $ 30.000 dollar perkapita, sedangkan rakyat dan kaum pribumi, paling hanya $ 500-1.000 dollar. Sungguh ironi.
Indonesia membutuhkan pemimpin yang berani, jujur, bersih, dan berkomitmen kepada rakyat dengan sungguh-sugguh. Pemilu tidak akan pernah melahirkan model pemimpin seperti itu, karena saat ini partai-partai politik tidak dapat memproduk model pemimpin seperti itu. Wallahu’alam.
Posting Komentar