KH. Abdurrahman dilahirkan dan dibesarkan di kampung Suburan Desa Mranggen Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak pada tahun 1872 M. Beliau adalah putra dari seorang guru ngaji yang shalih yaitu KH. Qashidil Haq bin Abdullah Muhajir. Selain mengajar, sang ayah juga giat berkebun dan menyewakan sebagian rumahnya untuk penginapan para pedagang luar kota.

Sejak kecil KH. Abdurrahman dididik oleh ayahnya sendiri. Setelah beranjak dewasa, barulah beliau belajar di Pondok Pesantren di daerah Tayem Purwodadi Jawa Tengah. Kemudian beliau juga pernah belajar di pesantren yang berada di seberang sungai Brantas JawaTimur. Kemudian terakhir beliau belajar di Pondok Pesantren Sapen Penggaron Semarang (dulu ikut Kabupaten Demak) yang diasuh KH. Abu Mi’raj yang akhirnya beliau diambil menjadi menantunya.

Karena minat belajarnya yang tinggi, setelah menetap di rumah selain mengajar beliau juga belajar kepada beberapa guru, diantaranya kepada Syekh KH Sholeh Darat, seorang ulama kenamaan dari Semarang Barat. Beliau juga belajar kepada KH. Ibrahim Brumbung Mranggen, dari sinilah beliau mendalami ilmu thariqat Qadiriyah wa Naqsyabandiyyah.

Syekh KH Ibrahim kemudian berkenan mewisuda beliau menjadi khalifah setelah lulus ujian, yaitu pada suatu hari KH. Ibrahim berkata kepada murid-muridnya: “Barangsiapa yang nanti tidak batal shalatnya maka dialah yang berhak menyandang khalifah.”

Awal kisahnya bermula saat di tengah-tengah shalat jamaah berlangsung terlihatlah seekor ular yang merayap dari arah KH. Ibrahim menuju para jamaah. Tentu saja hal ini membuat para makmum ketakutan lari tunggang langgang dan membatalkan shalatnya, kecuali KH. Aburrahman yang masih tetap khusyu’ meneruskan shalatnya. Maka dengan demikian beliau dinyatakan berhak untuk menyandang khalifah thariqat Qadiriyah wa Naqsyabandliyah.

Beliau adalah profil seorang yang konsekuen dan berdedikasi tinggi. Beliau menyadari sebagai seorang yang berilmu, tentu mempunyai kewajiban tugas dan tanggung jawab yang tinggi untuk senantiasa mengamalkan ilmu-ilmu yang dikuasai demi pengabdian kepada Allah dan RasulNya, Agama, Nusa dan Bangsa. Oleh karena itu, beliau dalam keseharian selalu melayani dan berkhidmah kepada masyarakat, santri dan keluarganya demi menggapai ridha Allah Swt.

Dalam hal duniawiyah, beliau juga mempunyai kewajiban untuk memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya. Oleh karena itu beliau tidak segan-segan dan tidak malu untuk berdagang walau dalam skala yang kecil. Tentu sebagai seorang tokoh agama dan berilmu tinggi, dalam berdagang pun beliau selalu amanah, dapat dipercaya dan yang paling disukai oleh pelanggannya. Beliau tidak pernah mengambil untung banyak.

Dengan bertambah banyaknya para pelanggan yang berbelanja kebutuhan kepada beliau, tidak membuatnya lupa dari tugas dan kewajibannya. Beliau tidak pernah berangkat jualan sebelum mengerjakan amalan rutinnya, yaitu shalat Dhuha. Sekalipun di pasar sudah ditunggu para pelanggannya, beliau tetap istiqamah terhadap ibadah dan amalan rutinitasnya.

Dari kepribadian beliau inilah masyarakat mulai simpati dan tertarik kepada beliau sehingga ada diantara mereka yang ikut nengaji dan sebagiannya menitipkan putranya kepada beliau. Hanya saja pada saat itu yang nyantri kepada beliau semuanya masih menjadi santri kalong, artinya pada malam hari mereka mengaji dan pagi harinya mereka pulang untuk bekerja atau membantu orang tua.

Beliau juga dikenal sebagai seorang yang luwes dalam setiap pergaulan. Sehingga nampak sifat beliau apabila bergaul dengan kiai akan nampak kekiaiannya, bergaul dengan bangsawan akan nampak kebangsawanannya.

KH. Abdurrahman sempat beristri dengan Ibu Nyai Suripah, ipar dari KH. Ibrahim Brumbung Mranggen, dan dikaruniai empat orang putra namun kesemuanya dipanggil Allah Swt. sewaktu masih usia kecil (setelah Ibu Nyai Suripah wafat).

Kemudian beliau menikah lagi dengan Hj. Shafiyyah (nama kecilnya Fatimah) binti KH. Abu Mi’raj bin Kiai Syamsudin Penggaron Semarang. Pernikahannya kali ini beliau dikaruniani sebelas putra dan putri, yaitu:

1. Hafshah (lahir di kapal dalam perjalanannya menuju ke tanah suci dan meninggal di Jakarta dalam perjalanannya pulang ke tanah air)
2. KH. Utsman (wafat tahun 1967 M)
3. Bashirah (wafat sewaktu kecil)
4. KH. Muslih (wafat tahun 1981 M)
5. KH. Muradi (wafat tahun 1980 M)
6. Rahmah (wafat sewaktu kecil)
7. KH. Fathan (wafat tahun 1945 M)
8. KH. Ahmad Muthohar (wafat tahun 2005 M)
9. Hj. Rahmah Muniri (almarhumah)
10. Faqih (wafat sewaktu kecil)
11. Tasbihah Muhri

Tiada jalan yang tak berujung, tiada awal yang tak berakhir. Demikian pula halnya dengan KH. Abdurrahman, setelah menekuni jalan kehidupannya dengan penuh pengabdian, menyebarkan syariat agama Islam dan setelah mengenyam pahit getirnya kehidupan ini mulai dari seorang santri sampai menjadi pemimpin dan tokoh masyarakat yang disegani, beliau berpulang ke Rahmatullah pada tanggal 20 Dzulhijjah 1360 H/1941 M dalam usia 70 tahun. Dan tanggal wafat beliau ini, setiap tahun diperingati haul keluarga yang dihadiri ribuan murid-murid beliau dengan tujuan berharap berkah dari beliau dan mengingat kembali perjuangan beliau semasa hidup. Pesan beliau pada keluarganya juga murid-muridnya yang akan selalu tetap diingat agar selalu belajar dan atau mengajar.

Posting Komentar