Ini bukan sekadar cinta. Juga bukan sekadar kegilaan. Bagai garis-garis fajar melintang di pelupuk matamu, sembari tersenyum. Air matanya adalah senak-senak kepedihan yang berbaur dengan angan-angan. Ini bukan sekadar cinta. Juga bukan fatamorgana. Namun ini adalah tanah air!

Muhammad. Inilah wajah yang selalu tersenyum menghadapi kehidupan dan kematian. Di pelupuk matanya wama-warni pelangi menyatu dalam jubah belasungkawa. la selalu bingung memikirkan ibunya yang remuk-redam dalam mimpi-mimpinya untuk kembali ke tanah aimya. Hidup ini kelihatan memang begitu; hanya mengenal kata-kata dasar dan visa ketololan untuk sebuah keberangkatan.

Setiap hari ia menghabiskan waktunya berjam-jam di sebuah waning kopi Matahari yang jauh. Akan tetapi matahari sudah terbiasa hidup sendiri, terbiasa membuang semua kegilaan, kenekatan dan kesombongannya pada tangan-tangan yang membawa godam kesedihan.

Dalam hati Muhammad tersimpan ribuan cerita. Namun dalam hatinya semuanya telah mati. Hanya air mata ibunya yang terus menikam sel-sel hatinya/ dan dengan tak bosan-bosannya mencabik-cabik semua yang tersisa di sana. Mimpi kembali ke tanah tumpah darah masih terus membayangi dari kejauhan.

Muhammad mulai mengemasi tas tuanya. Lalu, “Jarak yang terbentang antara kita dan tanah air hanya beberapa langkah, Bu!” katanya pada ibunya.

Ibunya tersenyum kecut. Lalu sambil mengemasi pakaian anaknya, ia berkata, “Dan laut!”

“Puluhan tahun telah berlalu tanpa pemah aku memiliki secuil pun keberanian untuk pergi ke tempat di mana aku bisa mencium bau napas kakakku, Fatimah,” celoteh Muhammad.

“Lupakan saja semua. Pikirkan dirimu,” timpal ibunya.

Muhammad seorang anggota tentara. Di Tepi Timur ia menyaksikan betapa Palestina tersenyum pilu, perih. Kehidupan ada di mana-mana. Adalah hakmu untuk makan dan hidup. Adalah hakmu untuk menangis, untuk menyaksikan hari-harimu mengambang bagai perahu yang terapung-apung di permukaan negeri sendiri. Namun bagaimana? Bagaimana mungkin kamu bisa melepaskan diri dari jati dirimu senndiri, melupakan ribuan mil kesedihan dan kekalahan? Air mata ibunya belum kering, sekalipun tampak mulai membatu. Dan kota Argela! Oh, celakalah si tolol itu yang terus bersikeras menghempaskan mimpi-mimpi ayahnya.

Kakaknya, Fatimah, masih menetap di Palestina. Orang-orang yang datang dari Tepi Barat berkata, ia kini punya tujuh putra dan empat putri. Pasti ada di antara mereka yang mirip dengan Muhammad.

Sekarang Muhammad tidak lagi bisa mengingat wajah Fatimah. Atau mungkin itu hanya dugaannya saja, yang kemudian berubah menjadi keyakinan. Hingga setiap kali ia berusaha menghadirkan dalam ingatannya menjadi sia-sia.

Dan Masjid Al Aqsha! Ah, itulah nama yang menyimpan ribuan kenangan lusuh tentang keangkaramurkaan. Ibunya bilang, orang-orang Yahudi memasuki masjid itu tanpa melepas sandal-sandalnya, meneriaki orang-orang yang sedang shalat, dan mengganggu para wanita.

la masih ingat, suatu ketika ayahnya tertawa panjang. Lalu tiba-tiba jatuh pingsan. Semua orang bilang ia sudah mati. Namun hanya Muhammad yang tahu rahasia kematiannya.


Dan perbatasan itu. Ah, binasalah butir-butir pasir yang tertidur di bawah telapak kaki Muhammad. Binasalah kematian. Binasalah kesedihan.

Mengapa ia tiba-tiba merasa bahwa dialah yang bertanggung jawab atas semua dosa itu? Mengapa hanya dia yang harus membayar harga ketakutan?

Di seberang perbatasan yang terbentang menuju kemustahilan itu, Muhammad duduk. la melihat sahabatnya, Abdul Jabbar. (Sebuah wajah yang gahar, dan dua bola mata yang terus mencari apa yang bisa dibunuhi.) la tersenyum. Dalam diam ia menelan udara.

Ya Ilahi! Ini dia! Ini dia garis-garis wajah Fatimah yang kembali ke haribaannya.

Dua pekan setelah berdiam di balik perbatasan itu, Muhammad berhasil memiliki puluhan foto anak-anak Fatimah. Rupanya, putra sulung Fatimah benar-benar mirip dengannya.

Satu pekan kelelahan lagi telah berlalu. Kini Muhammad telah menguasai seni menangis. Pada surat terakhir yang dikirimnya kepada ibunya, ia mengatakan: “Andaikata ibu tahu, betapa lezatnya menangis di balik kawat-kawat berduri, di tengah auman kematian, pasti ibu telah membunuh ketakutan dan segera mengikutiku. Agar kita bisa duduk berdua di sini, aku dan ibu, menyatu dengan mimpi-mimpi kita, dan menangis. Sebab Anda telah bersumpah tidak akan mati tertawa.”

la menutup surat itu. Dan seperti biasa, ia menyimpannya dalam tas tuanya. la tersenyum melihat tas yang kini sama sekali kosong tanpa barang-barang, kecuali surat-surat yang terus ia tulis untuk ibunya yang sebenarnya buta huruf. Akan tetapi ia selalu berkata: “Aku akan membacakan surat-surat ini untuk ibu kalau nanti akan kembali.”

Di ujung perbatasan, Abdul Jabbar berkata padanya, “Sebentar lagi dunia ini akan meledak.” Sebenarnya Abdul Jabbar jarang berbicara. Karena itu Muhammad acuh tak acuh saja. la tidak berusaha mendengamya dengan baik. Namun tiba-tiba Abdul Jabbar berteriak keras:

“Hei, apa kamu tidak dengar?”

Muhammad tersenyum penuh ekspresi olok-olok. Lalu berkata, “Alangkah indahnya hidup seseorang yang jauh dari telinganya.”

Abdul Jabbar menatap Muhammad dengan tajam.

“Ini kegilaan,” katanya keheranan.

“Boleh jadi. Akan tetapi saya belum pemah memaafkan mata kodok-kodok yang terus melaknat kita, dan meludahi lumpur dengan gilanya, dan menolak ikut menyertai tubuh kita di tempat tinggal kita yang kotor ini.”

“Hei, kamu berbicara tentang apa?”

“Tentang ketakutan.”

Untuk pertama kalinya ia tersenyum. Abdul Jabbar tersenyum. Rasa kasihan tampak memenuhi roman mukanya.

“Makhlukjenis apa kamu ini Muhammad?”

“Akulah wajahmu yang lain.”

“Kamu mengejekku?”

Lalu ditatapnya kedua bola mata Muhammad, seakan-akan mencari alasan untuk memaafkannya. Kemudian ia berkata lagi, “Biarkan kita memulai hidup baru.”

“Namun hidup bermula hanya sekali.”

“Hei, kamu orang Palestina?”

“Dari Al Quds.”

“Logatmu menunjukkannya.”

Sejenak ia terdiam. Lalu dijabatnya tangan sahabatnya, “Saya dari Salth,” katanya.
Begitulah beberapa pekan kemudian berlalu. Mereka sama-sama membisu. Tak seorang pun diantara mereka dapat merasakan napas sahabatnya. Namun kini dalam sekejap mereka telah menjadi sahabat karib. Betapa anehnya wilayah perbatas- an itu. Dan betapa malang pula kesedihan Muhammad yang tak pemah selesai.

Tahun-tahun kesedihan berlalu bagai kematian, ia selalu dekat kendati kadang-kadang tampak menjauh. Intifadhah. Batu-batu dan anak-anak. Kendaraan lapis baja, tungkai kaki-kaki kecil yang terus berlari, dan dikejar oleh sepatu-sepatu laras yang kasar.

Wajah kakaknya kini hilang dari benaknya. la juga kini kehilangan satu demi satu wajah anak-anak kakaknya. la bahkan menyadari kalau putra sulung kakaknya sebenamya tidak mirip dengannya. Lihat, ia berteriak sambil membawa batunya yang bisu. Pada kedua bola matanya ia menemukan sesuatu yang aneh, sesuatu yang mengatakan bahwa ia sebenarnya belum pantas lahir.

Hatinya benar-benar bergejolak. Sambil membersihkan senjatanya, ia bertanya pada Abdul Jabbar “Mengapa kita harus
menyimpan peluru-peluru itu?”


“Jangan bodoh!”

“Mereka melawan dengan batu, tapi dibalas dengan peluru?”

“Hei, Muhammad, jangan gila!”

“Lalu untuk siapa kita membawa peluru?”
 
“Tugas kita hanya menjaga perbatasan. Kita tidak tahu politik, sahabat!”

“Masalah ini tidak perlu dirumitkan. Saya punya banyak stok peluru, kok.”

Tatapan ketakutan mulai melukiskan bayang-bayangnya di kedua bola mata Abdul Jabbar. Ternyata Muhammad tidak seperti dulu lagi. la tidak lagi menangis.

Lama sudah waktu berlalu sebelum perang meletus di seberang perbatasan ini. Lihatlah, pasangan-pasangan mata manusia yang ketakutan itu, rnembelalak ke mana-mana. Alangkah agungnya jika kamu merasakan kelemahan musuh- mu, di saat kamu juga merasakan sebuah kekuatan mahagaib sedang terlelap dalam genggaman telapak tanganmu, yang dapat kamu bangunkan kapan saja kamu mau.

Peluru tentara Israel sebenamya lebih pengecut dari serdadu-serdadu itu sendiri, walaupun ia tetap saja mematikan. Mereka menyaksikannya begitu orang-orang telah berhasil menyeberangi perbatasan. Padahal, Abdul Jabbar justru mengumumkan dalam diam bahwa hanya satu orang yang menyeberangi perbatasan: Muhammad.

Baku tembak itu telah mengejutkan kedua belah pihak.. Siapa yang mulai menembak? Seperti ada banyak kata yang diteriakkan oleh peluru-peluru itu dengan kerasnya, di saat serdadu-serdadu Israel menyaksikan bagaimana kematian telah inenjelma menjadi hantu yang membuntuti peluru-peluru mereka.

Sebenarnya Abdul Jabbar tidak cukup terkejut ketika Muhammad tiba-tiba bersembunyi. Namun sambil menembak, ia mencoba berteriak juga,

“Ada apa, Muhammad?”

Dua hari telah berlalu. Serdadu-serdadu Israel itu benar-benar merasakan kejaran hantu-hantu peluru. Abdul Jabbar selalu saja menangis setiap kali desingan peluru melintas di samping telinganya. Itu berarti peluru Muhammad belum habis-habis juga. Ternyata memang benar kata Muhammad. Alangkah indah hidup seseorang yang jauh dari telinganya.

Tembak menembak semakin memanas. Peluru-peluru itu benar-benar sudah gila. la tak tahu lagi ke mana ia menuju.

Stok peluru Muhammad akhirnya habis juga. Sedang stok peluru serdadu-serdadu Israel tentu saja masih ada. Di sini, di seberang perbatasan, kemenakannya yang mirip dengannya tumbuh menjadi dewasa. Ketika ia keluar dari tempat persembunyiannya, ia menyurati ibunya: “Bu, aku tidak mau mati kelaparan. Sebab dulu ayahku kelaparan, lalu ia tertawa sampai mati.”

Dari tempat persembunyiannya ia keluar dengan gagah. Kadang-kadang sasaran-sasaran kagetan sulit ditembus. la berjalan perlahan-lahan. Lalu tiba-tiba saja ia menerjang seorang serdadu Israel, kemudian ditikamnya dalam-dalam. Hanya sekali tusukan. Sementara itu puluhan peluru tentara Israel telah menyergap tubuhnya.

Abdul Jabbar membuka kopor Muhammad. la terkejut melihat surat-surat itu. la menghabiskan waktu semalam suntuk hanya untuk membacanya. Sambil melipat surat terakhir dan menyimpannya dalam sakunya, ia mengatakan, “Hai orang tolol, itu adalah masalah yang tak boleh kita pikirkan. Apa yang akan kita tinggalkan bagi para politikus jika masalah itu kita tangani pula?”

Dalam perjalanan menuju tapal batas penjagaan, sambil tersenyum ia berkata kepada Muhammad: “Kalau saja aku bisa melihat gemetar ketakutan. Aku yakin pasti sudah banyak di antara mereka yang kamu bunuh. Tapi mereka tidak dapat merasakan lezatnya kematian itu, sobat.”

Jauh sudah Abdul Jabbar melangkah. la telah melewati tapal batas penjagaan. Tapi tak seorang pun merasakan kehadirannya. Langkahnya pelan. la hanya membawa wajah Muhammad.

Dan sejurus kemudian, baku tembak kembali pecah.

Posting Komentar