Kiai Idris Kauman Wonosobo atau Mbah Idris lahir bertepatan dengan
tanggal dan bulan serta tahun kelahiran Ratu Belanda Yuliana, 30 April
1909 M. Karenanya pada masa kolonial pernah mendapat hadiah dari
pemerintah Belanda karena kesamaan dalam tanggal kelahiran Ratu Belanda.
Ia adalah seorang kiai yang menonjol dan sekaligus unik. Di samping
lugas dalam berbicara, berani melawan yang dianggapnya tidak benar, juga
mempunyai rasa yang sangat tresno terhadap umat. Dengan
keteguhan jiwa orang yang menemukan dirinya sendiri, Mbah Idris menjadi
sangat dihormati semua orang, dicintai santri-santrinya, disegani
kawan-kawannya.
Sekalipun demikian kehidupan Mbah Idris adalah sangat sederhana.
Kesederhanaan hidupnya menjadi contoh bagi setiap orang yang kekurangan
akibat terpaan dalam cobaan hidup. Dan bagi orang yang berada, Mbah
Idris menjadi sosok lembaran yang harus ditiru dalam kezuhudan.
Kesederhanaannya tampak dalam kehidupan yang menempati sedikit
ruangan untuk sekedar beristirahat dan menerima tamu. Walaupun secara
materi, ekonomi Mbah Idris tergolong berkecukupan, bahkan tergolong
kaya, namun lebih memilih hidup sederhana. Pakaian kesehariannya yang
tampak dan lebih menyukai pakaian yang berwarna putih, mulai dari
sarung, peci, dan serban yang sering dipakai merupakan bukti lain dari
kebersahajaan dalam kehidupan.
Agaknya semua manifestasi lahiriah tersebut merupakan penyingkapan
dari proses penyerbukan panjang benih-benih ruhaniah religius Mbah
Idris. Sebagai hasil didikan dari Pesantren Tremas Pacitan tempat ia
menimba Ilmu bertahun tahun di Tremas. Bahkan oleh sebagian kalangan ia
dinobatkan sebagi orang yang telah menempati Maqom tertentu dalam kehidupan tasawwuf.
Bagi masyarakat Mbah Idris adalah magnet sekaligus semen perekat yang
membuat kohesivitas sosial, dan benar-benar menjadi strum dalam
kehidupan sosial. Dalam realitasnya, memang secara gemilang telah
malahirkan kehidupan religious, dengan menjadikan Al-Qur`an, Hadits dan
ijtihad “ulama sebagai motornya. Dalam etape pengabdiannya ia terlihat
ikhlas, tulus, dan tanpa pamrih dalam pengabdiannya.
Karena itu pantas jika banyak kalangan yang berebut mendatangi
rumahnya, mulai rakyat biasa hingga para pejabat. Bahkan beberapa
Menteri pada tahun 1970an sowan kepadanya untuk mencium jemari
tangannya dengan meminta sekedar nasehat atas pemecahan atas berbagai
belitan masalah yang melilit. Tatapan matanya yang teduh, raut muka yang
teduh serta tutur katanya yang menyejukkan seakan membasuh pekarangan
batin umat yang kerontang. Akhlak kekiaiannya untuk menyantuni segenap
lapisan masyarakat yang tidak mampu tidak pernah lekang dalam ruas-ruas
perjuangannya.
Mbah Idris adalah orang yang corak pemikirannya radikal, menggugat
tatanan masyarakat dengan menawarkan perubahan total, memasuki
pengembaraan spiritual, sehingga melahirkan paradigma baru untuk merubah
kehidupan masyarakat. Aktifatas, ide, dan pemikirannya selalu
berorientasi ke masa depan. Sehingga santri-santrinya digembleng
sedemikian rupa dengan harapan, di kemudian hari nanti mampu
berinteraksi dengan komunitas masyarakat yang heterogen dan berbeda
kondisi sosialnya.
Mbah Idris adalah tipe kiai yang tidak terlalu menyukai popularitas.
Keengganan berpamer kepandaian dengan cara mengutip dalil dan sejumlah
referensi Islam merupakan salah satu karakteristiknya. Bahkan dalam hal
tertentu misalnya masalah fiqih ia kadang bertanya kepada kiai yang
secara umur lebih muda darinya, atau ketika dimohon untuk memberikan
do'a dalam sebuah acara terkadang ia malah menyuruh Kiai lain untuk
memimpin do'a. Dalam memdedahkan pemikiran-pemikirannya, ia sangat
jarang merujuk secara verbal dalil-dalil agama. Namun melalui proses
perjumpaan dengan realitas-realitas sosial yang konkrit dan berangkat
dari pemahaman agama.
Syahdan, pada September 1945 ia menghadiri pertemuan para ulama atas
prakarsa Hadratussy Syekh KH M. Hasyim Asy’ari di daerah Kawatan
Surabaya dan merumuskan “Resolusi Jihad”. Ia lalu masuk dalam
barisan Hizbullah dan Laskar Ketentaraan hingga berpangkat Mayor, namun
setelah kondisi aman ia meletakkan jabatan itu dan memilih lahan
perjuangan memberdayakan masyarakat.
Sebagai konsekuensinya ia terlibat dalam berbagai front seperti
pertempuran Ambarawa, 10 November 1945, perebutan Jogjakarta dari
kekuasaan Belanda dan sejumlah pertempuran lainnya. Keberaniannya pada
tahun 1948 menggalang solidaritas untuk Muslim Palestina dari warga
Nahdliyin dengan bentuk dukungan moril dan dana.
Awal tahun 1960-an ia membuka madrasah-madrasah di lingkungan warga
nahdliyyin yang saat itu belum lazim dengan pendidikan formal,
disebabkan cara pandang terhadap pendidikan formal dan kondisi ekonomi
yang sangat tidak memungkinkan. Kontroversi di masyarakat kemudian
muncul bahkan nyaris membawa penyudutan dalam dirinya.
Namun semua itu bisa dilalui. Boleh saja kita berpikiran bahwa dalam
pemikiran Mbah Idris, biarlah masyarakat yang berasumsi beraneka ragam
sekalipun asumsi itu menyudutkannya, dan pada saatnya mereka akan
mengetahui. Dengan bahasa agamanya bicaralah kepada manusia dengan kadar
kemampuan nalar mereka. Menjadi ikon untuk memaklumkan masyarakat yang
tidak sekehendak dengan beliau.
Dalam hal ijtihad politik, semula ia berafiliasi dengan partai yang
berbasis massa Islam, berbalik dengan mendukung partai yang dipimpin
oleh negara. Akibat dari sikap politiknya ini pada awalnya mendapat
kritikan yang tajam dari berbagai kalangan utamanya justru para Kiai
yang tidak sama dalam pandangan politiknya.
Jika dipandang dari sudut politik sekitar awal dicanangkannya Khittah
NU 1926 di kalangan Kiai NU, sikap Mbah Idris cukuplah unik namun dalam
pengamatan yang lebih jauh, mungkin adalah sebagai suatu strategi yang
ampuh dan jitu untuk membangun umat Islam tidak hanya dengan ukuran
politik secara praktis namun justru dengan high politik untuk mencapai
hasil yang maksimal. Alhasil apa yang dilakukan Mbah Idris pada
gilirannya justru menjadi batu loncatan untuk berpolitik yang sesuai
dengan tujuan Islam yaitu untuk kesejahteraan untuk umat manusia.
Mbah Idris merintis Pengajian Seton. Penyelenggaran
pengajian ini, erat dengan syiar Islam di kota Wonosobo. Keberadaan
Masjid sebagai salah satu elemen utama masyarakat juga menjadi bagian
dari pengajian yang selanjutnya kegiatan ini berlangsung.
Pada tahun 1961 Kiai Idris bersam KH.Masykur dan KH.Muntaha merintas
pengajian Setiap hari Sabtu yang dikenal dengan pengajian Seton. Awalnya
adalah untuk membendung gerakan partai Komunis yang melalui
memprofokasi masyarakat dengan propagandanya. Pengajian ini terbukti
efektif hingga saat ini masih tetap dihadiri ribuan masyarakat setiap
hari sabtu.
Disamping sebagai sarana komunikasi, pengajian ini juga dimaksudkan sebagai sarana penguat ajaran Islam ‘ala ahlussunah wal jama’ah,
semakin tahun pengaian ini samakin banyak jamaahnya. Karena sistem yang
digunakan sangat menarik minat masyarakat, yaitu dengan menggabungkan
sistem pesantren dan pengahian umum.
Mbah Idris memasuki kawasan substansi dari ajaran Islam, sebagai
model untuk mengaktualisasikan Al-Qur'an dalam kehidupan sehari-hari.
Secara paradigmatik cara pandang sebagaimana di atas mungkin salah,
bahkan tidak melalui genre yang benar. Namun catatan itu setidaknya
patut diberikan sebagai bentuk apresiasi terhadap beliau, Kiai Idris.
Posting Komentar