Seringkali ketika kita melihat suatu kemungkaran dilakukan dan kita mau
menasihati orang yang berbuat kemungkaran tersebut agar tidak
melanjutkan perbuatan dosanya, terkadang kita sering mendengar
suara-suara nyeleneh dari orang-orang disekeliling kita, misalnya:
"Yaelah, sok suci lu, urus aja diri sendiri, gak usah ngurus orang
lain", atau "benerin dulu diri lu sendiri, baru ikut campur urusan
orang."
Contohnya seperti ini:
Yang jadi pertanyaan, apakah Islam mengajarkan seperti itu? Jelas tidak! Berikut ini sabda Nabi Muhammad s.a.w:
عَنْ
أَبِي سَعِيْد الْخُدْرِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ
اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً
فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ
لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ
Dari Abu Sa’id Al Khudri radiallahuanhu berkata : Saya mendengar Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam bersabda: “Siapa
yang melihat kemungkaran maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak
mampu maka rubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah)
dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman.” (H.R. Muslim)
Pelajaran yang terkandung dalam hadist ini di antaranya adalah:
- Menentang pelaku kebatilan dan menolak kemunkaran adalah kewajiban yang dituntut dalam ajaran Islam atas setiap muslim sesuai kemampuan dan kekuatannya.
- Ridha terhadap kemaksiatan termasuk di antara dosa-dosa besar.
- Sabar menanggung kesulitan dan amar ma’ruf nahi munkar.
- Amal merupakan buah dari iman, maka menyingkirkan kemunkaran juga merupakan buahnya keimanan.
- Mengingkari dengan hati diwajibkan kepada setiap muslim, sedangkan pengingkaran dengan tangan dan lisan berdasarkan kemampuannya.
Dan Imam Hasan al-Bashri ra pun pernah berkata: "Seekor unta dibunuh oleh satu
orang, tetapi Allah akan menggeneralisasi siksa kepada suatu kaum karena
mereka membiarkan kemaksiatan terjadi di depan mereka."
Jadi Bagaimana yang Benar?
Hendaklah kita saling menasihati satu sama lain. Kalau kita menunggu
sampai menjadi manusia suci yang tidak berdosa dulu,
yang ada malah gak bakalan ada lagi orang-orang yang memberikan nasihat
di muka bumi ini, karena memang semua manusia di dunia ini sudah
kodratnya terkadang melakukan dosa. Kalau kita melihat teman kita
melakukan kesalahan, ya tegur saja dan nasihati dengan lemah lembut. Dan
juga, hendaklah kita memberikan nasihat secara diam-diam, tidak
terang-terangan di hadapan orang lain. Sebab, manusia pada umumnya tidak
mau menerima nasihat apabila diberikan di hadapan orang lain karena hal
itu dapat mempermalukannya atau mengesankan kerendahan dan kehinaannya.
Nah karenanya, bisa-bisa bangkitlah keangkuhannya sehingga
menyebabkannya
menolak nasihat yang kita sampaikan. Nasihat pada kondisi tersebut sama
dengan membongkar aib dan nasihat ini hampir semakna dengan
merendahkannya. Dan para ulama salaf pun membenci perbuatan amar ma’ruf
nahi munkar dengan bentuk merendah-rendahkan di hadapan orang banyak dan
mencintai jika memberikan nasihat secara diam-diam.
Demikian juga kalau kita berbuat salah, maka ketika teman kita menegur
kita, jangan kita malah marah-marah dan mengatakan kalau teman kita itu
sok suci. Hendaklah kita renungkan nasihatnya dan berterima kasih
padanya, karena dia telah menjauhkan kita dari perbuatan tercela, dan
itu juga menunjukkan bahwa dia peduli dengan kita. Orang seperti itulah
yang disebut sebagai sahabat sejati. Sahabat sejati bukanlah orang-orang
yang membiarkan kita terjerumus dalam maksiat dan malah ikut-ikutan
berbuat maksiat, namun sahabat sejati adalah orang yang meluruskan dan
menunjukkan kesalahan kita.
Imam Hasan al-Bashri ra juga pernah berkata, “Wahai manusia, sesungguhnya aku tengah menasihati
kalian, dan bukan berarti aku orang yang terbaik di antara kalian, bukan
pula orang yang paling shalih di antara kalian. Sungguh, akupun telah
banyak melampaui batas terhadap diriku. Aku tidak sanggup mengekangnya
dengan sempurna,
tidak pula membawanya sesuai dengan kewajiban dalam menaati Rabb-nya.
Andaikata seorang muslim tidak memberi nasihat kepada saudaranya kecuali
setelah dirinya menjadi orang yang sempurna, niscaya tidak akan ada
para pemberi nasihat. (Mawai’zh lilImam Al-Hasan Al-Bashri, hal.185 )
Demikian tulisan ini, semoga setelah membacanya kita jadi lebih sabar
dan bisa menerima nasihat dan kritik yang membangun dari orang lain.
Posting Komentar