Hidayatullah.com–Kriteria terpilihnya pemimpin dalam Islam bukan karena fisik, kesukuan atau etnis tertentu, apalagi popularitas. Akidah menjadi pertimbangan utama. Umat Islam perlu mencermati hal ini. Jika tidak, terpilihnya pemimpin-termasuk para Wakil Rakyat- sebatas popularitas sesaat tanpa langkah nyata membangun umat.
“Memilih pemimpin bukan asal-asalan. Ini bukan seperti ibu-ibu ke supermarket memilih deterjen, asal suka. Memilih pemimpin ini sesuatu yang harus mempertimbangkan baik-buruknya,”jelas pakar hadits lulusan Al Azhar, Dr Daud Rasyid Sitorus pada Pengajian Politik Islam (PPI), di Masjid Agung Al Azhar, Jakarta belum lama ini.
Menurut penulis buku “Pembaruan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan” ini, pemimpin mukmin menjadi kriteria utama yang tidak bisa ditawar lagi. Namun, jika umat diminta memilih di antara dua mukmin, kriteria selanjutnya adalah yang mempunyai keahlian sesuai bidangnya.
Hal ini dicontohkan pada kisah Abu Dzar Al Ghifari saat meminta Rasulullah supaya mengangkatnya sebagai Waly (pemimpin). Rasulullah mengatakan, “Ya Abu Dzar, kamu itu lemah,” Daud menirukan perkataan Rasulullah sembari menyebutkan kelemahan Abu Dzar pada manajemen kepemimpinan.
Penerapan kriteria diatas tidak hanya untuk pemimpin tingkat negara, namun sampai pada akar rumput seperti Ketua RT/RW.
“Juga bukan hanya top management. Kepala divisi juga harus dipilih berdasarkan kriteria tersebut,”ulas peraih gelar PhD dalam bidang Syari’ah Universitas Kairo, Mesir.
Walaupun berdasarkan keahlian, Daud mengingatkan, prestasi calon pemimpin non Muslim, tak bisa menjadi alasan bagi umat Islam memilihnya.
“Walaupun prestasinya, manajemennya, visinya bagus, tapi dia non Muslim, no way!”tegas penulis buku “Islam dan Reformasi” itu.
Keputusan ini bukan tanpa dasar. Dalam Surat Al Maidah, ayat 51-63.*
Posting Komentar