MuslimahZone.com – Aku berdiri berkalung tali tambang. Detik mencekam menjelang eksekusi mati.
Di sampingku ada Aisyah. Wanita jelita yang kunikahi sebulan lalu.
Hafalan Qur’anku telah menjadi maharnya. Temali tambang pun terlingkar
erat di lehernya. Walau begitu, ia tetap terlihat mempesona berbalut
jilbab hitamnya.
Ah, cintaku. Kala itu di masjid Al-Aqsha, saat engkau membersamaiku
melempari tentara Israel yang mencoba menghadangku melaksanakan shalat
Jum’at. Berkatmu kewajiban shalatku tertunaikan. Kini aku wajib
menunaikan kewajibanku. Membahagiakanmu. Walau di tiang gantungan.
“Fatih…!” suara Gorbacev, Jenderal tentara Israel memanggilku.
“Engkau dan istrimu bisa terbebas. Syaratnya, engkau harus
menandatangani ini!” ucap Gorbacev, sambil menyodorkan selembar kertas.
Aku membacanya. Sepasang mata lentik Aisyah melirik, turut membaca.
Surat pernyataan bersalah.
“Suamiku, jangan perturutkan surat itu. Engkau tidak bersalah. Engkau
hanya ingin menunaikan kewajibanmu pada Rabb pemilik jiwamu.”
“Suamiku, ingatkah saat kau pinang aku dan aku bertanya, apa
cita-cita tertinggimu? Engkau menjawab, cita-cita tertinggimu adalah
syahid di jalan Allah. Jangan pernah menyerah. Sadarlah kini engkau
semakin dekat dengan impianmu!” gerimis air matanya Aisyah semakin
menjadi.
“Duhai Fatih, mengapa engkau berpikir untuk menyerah? Syahid sudah di
depan mata. Syahid yang sempurna. Karena engkau akan membersamai
bidadari duniamu menapaki gerbang syurga. Lemparkan surat itu Fatih!
Lempar!” teriakku dalam hati. Menghardik nurani sendiri.
Aku remas surat itu, kulemparkan di hadapan Jenderal Gorbacev.
“Telunjuk ini selalu bersyahadat di setiap shalatku. Pantang baginya untuk menyerah kalah.” Ucapku membentak Gorbacev.
“Berarti engkau lebih memilih mati?” Tanya Gorbacev jengkel.
“Ya, aku dan istriku ingin lekas bertemu dengan Rabb Sang Penggenggam jiwa kami!”
“Baiklah jika itu pilihanmu. Prajurit…tarik tali kekangnya.” Teriak Gorbacev begitu keras.
Sreeeet…
Leherku terasa begitu sesak. Tercekik sakit. Kulihat Aisyah pun menahan sakit. Wajahnya mulai memucat.
“Inilah puncak cinta kita sayang! Sampai jumpa di gerbang syurga.”
Kataku lirih kepada Aisyah, kugenggam tangannya erat. Kami pun bersama
menyenandungkan syahadat. Sambil menunggu senyum malaikat maut.
Oleh: Adi Wijaya (Penulis buku “Dari Perang Badar Kita Belajar”)
Posting Komentar