Kekerasan merupakan cerminan dari dua sikap :
1. Cerminan KETEGASAN SIKAP dan KETEGARAN PRINSIP.
Kekerasan
sebagai cerminan tegas sikap dan tegar prinsip adalah kekerasan yang
terpuji, dan tidak bertentangan dengan syari’at. Karenanya, dalam surat
At-Taubah ayat 73 dan At-Tahrîm ayat 9, Allah SWT memerintahkan
Rasulullah SAW untuk bersikap keras terhadap orang-orang kafir dan
munafiq.
Firman-Nya SWT :
Artinya : “Hai
Nabi, Berjihadlah ( perangilah ) orang-orang kafir dan orang-orang
munafiq itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah
neraka Jahannam. Dan itulah tempat kembali yang seburuk-seburuknya ”.
(At-Tahrîm : 9)
Selain
itu, Allah SWT memuji para Shahabat Nabi karena sikap keras mereka
terhadap kaum kafir dan berkasih sayang terhadap sesama. Firman-Nya SWT :
Artinya : “Muhammad
itu adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengan dia
adalah keras terhadap orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka
”. (Al-Fath : 29)
Kekerasan yang terpuji ini biasa disebut KETEGASAN, untuk membedakannya dengan KEKERASAN dalam arti negatif yaitu ANARKISME.
2. Cerminan KEKASARAN SIKAP dan KEBENGISAN HATI.
Ada
pun kekerasan sebagai cerminan kasar sikap dan bengis hati adalah
kekerasan yang tercela, dan dilarang keras oleh syari’at. Karenanya,
Allah SWT memerintahkan Rasulullah SAW untuk berda’wah dengan hikmah,
‘arif, bijak, dan lemah lembut. Firman-Nya SWT :
Artinya : “Serulah
( manusia ) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik,
dan bantahlah mereka dengan cara yang terbaik. Sesungguhnya Tuhanmu Dia
lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya,
dan Dia lah yang lebih mengetahui tentang orang-orang yang mendapat
petunjuk ”. (An-Nahl : 125)
Dan
Allah SWT melarang Rasulullah SAW dari sikap kasar atau pun bengis,
bahkan membimbing Rasulullah SAW agar pemaaf dan mengutamakan
Musyawarah. Firman-Nya SWT :
Artinya : “Maka
disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekeliling mu. Karena itu maafkanlah
mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan
mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad,
maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya ”. (Âli-‘Imrân : 159)
Kekerasan yang tercela inilah yang biasa disebut sebagai KEKERASAN atau disebut juga BRUTALISME atau ANARKISME.
Oleh
karena itu, sungguh tidak masuk akal, bila semua jenis kekerasan
secara mutlak digeneralisir dan divonis sebagai sesuatu yang tercela
dan terlarang. Bukankah sudah menjadi kesepakatan masyarakat
internasional, bahwa tentara suatu negara dibenarkan untuk menyerang
dan menembak, bahkan membunuh musuh dalam membela kedaulatan bangsa dan
negara. Dan polisi suatu negara juga dibenarkan menembak mati para
penjahat tatkala tak ada pilihan lain untuk mengatasinya. Semua itu
merupakan kekerasan yang terpuji, bahkan kekerasan yang menjadi
keharusan demi melindungi kedamaian dan kelembutan dalam kehidupan
suatu bangsa dan negara.
Disini
kita tertantang untuk mengkaji ulang DEFINISI tindak kekerasan, agar
tidak terjadi PEMBUSUKAN MAKNA dengan menggeneralisir bahwa semua
kekerasan itu tercela dan patut dikecam serta dilaknat. Dengan
pendefinisian yang benar nantinya kita mudah memilah mana kekerasan yang
TERPUJI dan mana yang TERCELA, sehingga kita tidak lagi memposisikan
dalil-dalil kelembutan sebagai lawan dari dalil-dalil kekerasan dalam
arti KETEGASAN.
B. KELEMBUTAN dan KETEGASAN
Tidak
ada seorang pun yang memungkiri bahwa sikap lembut dan bijak adalah
sikap yang terpuji, bahkan harus dikedepankan di berbagai situasi dan
kondisi, apalagi dalam beramar ma’ruf nahi munkar untuk menegakkan
agama Allah SWT.
Dalam
Shahîh Al-Imâm Al-Bukhâri rhm, Hadits ke – 6.024, 6.256, 6.395 dan
6.927, yang semuanya bersumber dari Sayyidah Âisyah ra, bahwasanya
Rasulullah SAW bersabda :
Artinya : “Sesungguhnya Allah itu Maha Lembut, dan Ia menyukai kelembutan dalam segala urusan ”.
Hadits
yang serupa atau semakna diriwayatkan pula oleh para Ahli Hadits
lainnya seperti Al-Imâm Muslim rhm, Al-Imâm At-Tirmidzi rhm, Al-Imâm
Ibnu Mâjah rhm, dan Al-Imâm Abu Daud rhm.
Namun
demikian, Lembut bukan berarti Tidak Tegas terhadap KESESATAN, dan
bukan pula berarti Damai dengan PENISTAAN AGAMA. Karena Tidak Tegas
terhadap KESESATAN adalah kefasikan. Damai dengan PENISTAAN AGAMA
adalah kemunafikan.
Islam
adalah agama perdamaian, tapi bukan berarti pasrah kepada KESESATAN.
Islam adalah agama kelembutan, tapi bukan berarti diam terhadap
PENISTAAN dan PENODAAN AGAMA.
Setiap kampanye perdamaian yang ditujukan untuk memadamkan api perlawanan terhadap KESESATAN adalah pengkhianatan. Sebaliknya, setiap kampanye perang untuk melawan KESESATAN adalah perjuangan. Semua kampanye kelembutan dengan tujuan membiarkan PENISTAAN AGAMA adalah kejahatan. Sebaliknya, semua kampanye ketegasan untuk menghentikan PENODAAN AGAMA adalah kebajikan.
Nash
Al-Qur’an dan As-Sunnah yang membenarkan sikap tegas tidak kalah
banyaknya dengan nash tentang kelembutan. Jadi, kita tidak boleh hanya
mengambil dalil-dalil kelembutan dengan mengabaikan dalil-dalil
ketegasan, atau sebaliknya, karena keduanya sama-sama datang dari
sumber hukum yang sah, bahkan sumber dari segala sumber hukum Islam,
yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Rasulullah
SAW pernah melakukan 29 kali peperangan dalam sejarah hidupnya. Kita
tidak bisa memungkiri bahwa perang adalah tindak kekerasan, yang
mengakibatkan pertumpahan darah, kemusnahan harta benda, bahkan
mengorbankan nyawa. Namun tentu saja, semua itu tidak dilakukan oleh
Rasulullah SAW, kecuali sebagai solusi terakhir, setelah sikap lembut
dan ramah dikedepankan
dan didahulukan.
Sungguh
pun demikian rupa yang dilakukan Rasulullah SAW dengan tegas dan
keras, namun Allah SWT tidak pernah mengecamnya, apalagi menyebut
beliau dan para Shahabatnya sebagai golongan “Radikal” atau
menyatakan tindakan mereka ”Anarkis”, bahkan Allah SWT membenarkan dan
memujinya.
KETEGASAN
inilah yang telah diteladani oleh para Al-Khulafâ’ Ar-Râsyidîn ra.
Lihatlah bagaimana Sayyidunâ Abu Bakar Ash-Shiddîq ra tanpa ragu-ragu
memerangi kaum murtaddîn dari para pengikut Nabi Palsu Musailamah
Al-Kadzdzab dan mereka yang tidak mau membayar zakat, setelah terlebih
dahulu diajak untuk bertaubat dengan penuh kelembutan.
Dan
lihat pula bagaimana Sayyidunâ ‘Ali Al-Murtadhâ krw dengan tegas
menindak kaum bughât (pemberontak) yang durhaka terhadap Imam yang haq,
setelah terlebih dahulu diajak untuk kembali kepada persatuan umat dan
mentaati pimpinan.
Sayyidunâ
‘Ali ibnu Abi Thâlib krw pernah menulis pesannya kepada para
pembantunya dalam menjalankan roda pemerintahan, antara lain berisi :
Artinya : “Mohonlah
pertolongan Allah. Campurlah sikap keras dengan segenggam kelembutan,
lembutlah ketika kelembutan itu yang terbaik. Dan mantapkan kekerasan
saat engkau tidak lagi mendapatkan cara kecuali kekerasan ”. (Nahjul Balâghoh, Juz III, Hal.597, nomor ke 46)
Kesimpulannya,
Lembut ada tempatnya dan Tegas ada saatnya. Kelembutan harus
dikedepankan dan diutamakan dalam menegakkan agama Allah SWT, sedang
ketegasan merupakan solusi akhir jika kelembutan tak mampu menyelesaikan
persoalan.
Oleh : Al-Habib Muhammad Rizieq Syihab
Posting Komentar