بسم الله الرحمن الرحيم
A. MAKNA USHUL DAN FURU’
Islam adalah Aqidah, Syariat dan Akhlaq. Ketiganya menjadi satu kesatuan tak terpisahkan, satu sama lainnya saling terkait dan saling menyempurnakan. Ketiganya terhimpun dalam Ajaran Islam melalui dua ruang ilmu, yaitu : USHULUDDIN dan FURU’UDDIN.
Ushuluddin biasa disingkat USHUL, yaitu Ajaran Islam yang sangat prinsip dan mendasar, sehingg Umat Islam wajib sepakat dalam Ushul dan tidak boleh berbeda, karena perbedaan dalam Ushul adalah Penyimpangan yang mengantarkan kepada kesesatan.
Sedang Furu’uddin biasa disingkat FURU’, yaitu Ajaran Islam yang sangat penting namun tidak prinsip dan tidak mendasar , sehingga Umat Islam boleh berbeda dalam Furu’, karena perbedaan dalam Furu’ bukan penyimpangan dan tidak mengantarkan kepada kesesatan, tapi dengan satu syarat yakni : ada dalil yang bisa dipertanggung-jawabkan secara Syar’i.
Penyimpangan
dalam Ushul tidak boleh ditoleran, tapi wajib diluruskan. Sedang
Perbedaan dalam Furu’ wajib ditoleran dengan jiwa besar dan dada lapang
serta sikap saling menghargai.
B. MENENTUKAN USHUL DAN FURU’
B. MENENTUKAN USHUL DAN FURU’
Cara menentukan suatu masalah masuk dalam USHUL atau FURU’ adalah dengan melihat Kekuatan Dalil dari segi WURUD (Sanad Penyampaian) dan DILALAH (Fokus Penafsiran).
WURUD terbagi dua, yaitu :
1. Qoth’i : yakni Dalil yang Sanad Penyampaiannya MUTAWATIR.
2. Zhonni : yakni Dalil yang Sanad Penyampaiannya TIDAK MUTAWATIR.
Mutawatir ialah Sanad Penyampaian yang Perawinya berjumlah banyak di tiap tingkatan, sehingga mustahil mereka berdusta.
DILALAH juga terbagi dua, yaitu :
1. Qoth’i : yakni Dalil yang hanya mengandung SATU PENAFSIRAN.
2. Zhonni : yakni Dalil yang mengandung MULTI PENAFSIRAN.
Karenanya, Al-Qur’an dari segi Wurud semua ayatnya Qoth’i, karena sampai kepada kita dengan jalan MUTAWATIR. Sedang dari segi Dilalah maka ada ayat yang Qoth’i karena hanya satu penafsiran, dan ada pula ayat yang Zhonni karena multi penafsiran.
Sementara As-Sunnah, dari segi Wurud, yang Mutawatir semuanya Qoth’i, sedang yang tidak Mutawatir semuanya Zhonni. Ada pun dari segi Dilalah, maka ada yang Qoth’i karena satu pemahaman dan ada pula yang Zhonni karena multi pemahaman.
Selanjutnya, untuk menentukan klasifikasi suatu persoalan, apa masuk Ushul atau Furu’, maka ketentuannya adalah :
1. Suatu Masalah jika Dalilnya dari segi Wurud dan Dilalah sama-sama Qoth’i, maka ia pasti masalah USHUL.
2. Suatu Masalah jika Dalilnya dari segi Wurud dan Dilalah sama-sama Zhonni, maka ia pasti masalah FURU’.
3. Suatu Masalah jika Dalilnya dari segi Wurud Qoth’i tapi Dilalahnya Zhonni, maka ia pasti masalah FURU’.
4. Suatu Masalah jika Dalilnya dari segi Wurud Zhonni tapi Dilalahnya Qoth’i, maka Ulama berbeda pendapat, sebagian mengkatagorikannya sebagai USHUL, sebagian lainnya mengkatagorikannya sebagai FURU’.
Dengan demikian, hanya pada klasifikasi pertama yang tidak boleh berbeda, sedang klasifikasi kedua, ketiga dan keempat, maka perbedaan tidak terhindarkan.
C. CONTOH USHUL DAN FURU’
1. Dalam Aqidah :
Kebenaran peristiwa Isra Mi’raj Rasulullah SAW adalah masalah USHUL, karena Dalilnya QOTH’I, baik dari segi WURUD mau pun DILALAH. Namun masalah apakah Rasulullah SAW mengalami Isra’ Mi’raj dengan Ruh dan Jasad atau dengan Ruh saja, maka masuk masalah FURU’, karena Dalilnya ZHONNI, baik dari segi WURUD mau pun DILALAH.
Karenanya,
barangsiapa menolak kebenaran peristiwa Isra’ Mi’raj Rasulullah SAW
maka ia telah sesat, karena menyimpang dari USHUL AQIDAH. Namun
barangsiapa yang mengatakan Rasulullah SAW mengalami Isra’ Mi’raj dengan
Ruh dan Jasad atau Ruh saja, maka selama memiliki Dalil Syar’i ia tidak
sesat, karena masalah FURU AQIDAH.
2. Dalam Syariat :
Kewajiban Shalat Lima Waktu adalah masalah USHUL, karena Dalilnya QOTH’I, baik dari segi WURUD mau pun DILALAH. Namun masalah apakah boleh dijama’ tanpa udzur, maka masuk masalah FURU’, karena Dalilnya ZHONNI, baik dari segi WURUD mau pun DILALAH.
Karenanya, barangsiapa menolak kewajiban Shalat Lima Waktu maka ia telah sesat karena menyimpang dari USHUL SYARIAT. Namun barangsiapa yang berpendapat bahwa boleh menjama’ shalat tanpa ’udzur atau sebaliknya, maka selama memiliki Dalil Syar’i ia tidak sesat, karena masalah FURU SYARIAT.
3. Dalam Akhlaq :
Berjabat tangan sesama muslim adalah sikap terpuji adalah masalah USHUL, karena Dalilnya QOTH’I, baik dari segi WURUD mau pun DILALAH. Namun masalah bolehkah jabat tangan setelah shalat berjama’ah, maka masuk masalah FURU’, karena Dalilnya ZHONNI, baik dari segi WURUD mau pun DILALAH.
Karenanya,
barangsiapa menolak kesunnahan jabat tangan antar sesama muslim, maka
ia telah sesat, karena menyimpang dari USHUL AKHLAQ. Namun barangsiapa
yang berpendapat tidak boleh berjabat tangan setelah shalat berjama’ah
atau sebaliknya, maka selama memiliki Dalil Syar’i ia tidak sesat,
karena masalah FURU’ AKHLAQ.
2. Dalam Syariat :
Kewajiban Shalat Lima Waktu adalah masalah USHUL, karena Dalilnya QOTH’I, baik dari segi WURUD mau pun DILALAH. Namun masalah apakah boleh dijama’ tanpa udzur, maka masuk masalah FURU’, karena Dalilnya ZHONNI, baik dari segi WURUD mau pun DILALAH.
Karenanya, barangsiapa menolak kewajiban Shalat Lima Waktu maka ia telah sesat karena menyimpang dari USHUL SYARIAT. Namun barangsiapa yang berpendapat bahwa boleh menjama’ shalat tanpa ’udzur atau sebaliknya, maka selama memiliki Dalil Syar’i ia tidak sesat, karena masalah FURU SYARIAT.
3. Dalam Akhlaq :
Berjabat tangan sesama muslim adalah sikap terpuji adalah masalah USHUL, karena Dalilnya QOTH’I, baik dari segi WURUD mau pun DILALAH. Namun masalah bolehkah jabat tangan setelah shalat berjama’ah, maka masuk masalah FURU’, karena Dalilnya ZHONNI, baik dari segi WURUD mau pun DILALAH.
Posting Komentar