Selama serangan Zionis, perasaanku adalah sebagaimana layaknya perasaan
seorang remaja, seorang pemuda, seorang anak, atau seorang wanita dari
anak-anak bangsa yang tengah menderita ini (Palestina— pent). Di satu
sisi, dalam diriku tidak ada rasa takut, khawatir, atau cemas. Karena
aku meyakini bahwa apa pun yang telah ditulis oleh Allah pasti akan
terjadi. Kami adalah kaum yang mengimani Allah dengan sebenar-benar
keimanan, termasuk mengimani takdir dari Allah. Karena itu, segala
sesuatu yang menimpa kami, pasti terjadi. Dan setiap sesuatu yang telah
ditakdirkan bagi kami, itulah yang diridhai oleh Allah.
Di sisi lain, aku juga merasa kesepian dan merana. Bahkan merasa
terasing, karena harus berpisah dari semua yang kami cintai. Namun,
kadang muncul juga rasa bahagia dan gembira, karena mereka telah
menggapai kemenangan sebagai seorang syahid di mata Allah. Aku sendiri
sudah sekian lama berharap untuk menjadi seorang syahid. Mati sebagai
seorang syahid adalah cita-citaku yang paling indah.
Dalam kamus
anak-anak Palestina tidak ada rasa takut. Karena kalau ada rasa takut,
niscaya kalian tidak akan pernah bisa menyaksikan eksistensi kami sampai
hari ini. Sekali lagi, rasa takut tidak ada dalam kamus kami, anak-anak
Palestina!
Semoga Allah dan harapan bangsaku pada
umumnya adalah agar Allah menghancurkan musuh ini, dan mengusirnya dari
tanah airku, tanah air nenek-moyangku, dan tanah air leluhur kami.
Semoga Allah juga menjadikan mereka (kaum Zionis Yahudi) bangsa yang
terjajah, terusir dari tanah airnya sendiri, sebagaimana mereka telah
mengusir kami dari tanah air kami.
Aku tidak mengharapkan apa pun
dari dunia internasional dan dunia Islam, selain solidaritas terhadap
saudara-saudara mereka yang tengah menderita. Dulu aku pernah menaruh
harapan kepada pemerintahan mereka. Namun tak ada kepedulian apa pun
dari mereka, karena pemerintahan mereka sendiri adalah zalim. Mana
mungkin berharap cahaya muncul dari malam yang gelap gulita.
Untuk masa depan, sebenarnya aku memiliki banyak obsesi. Pertama agar
banjir darah ini segera berhenti. Kedua adalah aku bisa shalat dua
rakaat di kampung Yafa, sebuah tempat di mana aku diusir darinya.
Ketiga, agar bumi yang dirampas oleh Yahudi segera kembali ke pangkuan
kami dalam keadaan suci serta bersih dari kotoran Yahudi. Keempat, aku
bisa shalat di Masjid al Aqsa. Kelima, aku berharap bisa bertemu dengan
orang-orang yang kucintai. Keenam, aku bisa mengqadha segala yang
tertinggal. Ketujuh, semoga para tawanan bisa segera kembali.
Sekarang, setelah serangan Yahudi berhenti, perasaanku campur aduk.
Aku merasakan aura kemenangan yang telah ditunggu-tunggu; aku merasakan
kehancuran yang telah merenggut jiwa 1.600 syuhada, 5.000 orang
terluka, dan berpuluh-puluh orang yang dikeluarkan dari reruntuhan dan
puing-puing bangunan yang hancur akibat serangan Yahudi;
Aku
merasakan keindahan dari pemandangan bagian-bagian tubuh yang
tercerai-berai dan menganga; dan aku juga merasakan kejahatan kaum
Yahudi. Kejahatan itu telah menumbuhkan rasa dendam untuk mengembalikan
senyuman indah dari anak-anak negeriku.
* Muhammad Al-Amin Emad Umayyah Al-Haririy (16 tahun)*
Posting Komentar