KHA Musallim Ridlo adalah satu mubalig alias
singa podium dari Kabupaten Banyumas. Almarhum dikenal sosok ulama yang
moderat, guru santri, praktisi politik, dan menjabat Ketua NU Banyumas
selama tiga dekade. Beliau wafat seratus hari silam, tepatnya tanggal 1
Mei 2014, pada usia 84 tahun.
“Warga Nahdliyin merasa sangat kehilangan beliau. Kiai Musallim adalah sosok yang sangat konsisten dalam memperjuangkan dan membela NU,” kata Drs H Taefur Arofat, salah satu pengurus PCNU Kabupaten Banyumas.
Tokoh kelahiran 27 Februari 1932 ini tumbuh dan dibesarkan di lingkungan pesantren. Musallim kecil mendapat didikan agama langsung dari sang ayah Almaghfurlah KHA Masruri. Ketika para santri lain masih terlelap tidur, remaja Musallim mengaji seorang diri di bawah penerangan lampu minyak. “Dulu ayah mengaji dari jam 3 dini hari hingga waktu Subuh tiba,” tutur M Ibnu Ridlo (50), putera sulung almarhum.
Selain mengaji ilmu agama, Musallim muda juga menempuh pendidikan formal di Sekolah Rakyat (setara SD). Ternyata, kepiawaian Musallim dalam ilmu agama telah diakui sang ayah sekaligus guru saat usianya relalif muda. Suatu hari KHA Masruri akan mengimami salat jamaah seperti hari-hari biasa namun beliau merasa was-was saat hendak takbiratul ihram. Lantas, beliau memilih mundur dan meminta Musallim menggantikannya sebagai imam.
Setamat SR, pemuda Musallim melanjutkan nyantri ke Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur. Di sana dirinya banyak belajar dan menimba ilmu dari KH Wahid Hasyim, ayah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). “KH Wahid Hasyim adalah inspirator ayah dalam banyak hal,” kata M Ibnu Ridlo.
Kepergian KH Wahid Hasyim yang begitu tiba-tiba dalam sebuah kecelakaan lalu lintas sungguh memukul hatinya. Konon, semangat pemuda Musallim sempat drop sepeninggal Kiai Wahid. Tak ingin berlarut-larut dalam kesedihan, beliau melanjutkan studi ke pesantren asuhan KH Bisri Mustofa di Rembang, JawaTengah. Sepulang nyantri dari Tebuireng dan Rembang, Kiai Musallim mulai berkiprah di bidang dakwah, pendidikan, dan politik.
Beliau mendapat amanah sebagai Ketua Partai NU Cabang Kabupaten Banyumas, saat itu partai politik sebelum berfusi ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dalam dunia pendidikan, almarhum turut serta merintis berdirinya Yayasan Perguruan Al-Hidayah yang berkantor pusat di Karangsuci Purwokerto bersama KH Muslich, KHM Sami’un, dan sejumlah ulama lain.
Politik dan Dakwah
Kiprah sebagai wakil rakyat dimulai saat beliau terpilih sebagai anggota DPR-GR Jawa Tengah (1971). Selanjutnya menjadi anggota DPRD Kabupaten Banyumas hingga tahun 1992. Semasa Ketua DPRD Kabupaten Banyumas dijabat Kisworo, dirinya menjabat Wakil Ketua DPRD bersama Agus Taruno.
Pada 1992-1997 KHA Musallim duduk sebagai anggota DPR-RI dari PPP. “Dalam dunia politik, Kiai Musallim dikenal sebagai sosok yang lurus ibarat penggaris; lempeng kaya garisan,” ujar Bupati Achmad Husein, seperti ditirukan M Ibnu Ridlo.
Aktivitas dakwah dan politik dilakoninya secara tulus dan penuh sukacita. Mengisi ceramah pengajian hingga pelosok pedesaan adalah hal dinantikan umat. Bahasa ceramahnya blakasuta alias lugas, tanpa tedheng aling-aling, sehingga mudah dicerna oleh kalangan awam sekalipun.
Sekadar catatan, beberapa tahun silam, Eyang Singa setiap malam Jumat Kliwon mengisi acara Gendu-Gendu Rasa di RRI Purwokerto. Hal ini diakui banyak pihak sebagai kiprah nyata dalam upaya nguri-nguri (baca: melestarikan) Bahasa Jawa dialek Banyumasan.
Demikian halnya dengan KHA Musallim Ridlo. Dalam aktivitas dakwahnya beliau sangat konsisten dengan dialek Banyumasan. Dalam konteks ini, Kiai Musallim adalah sosok ulama moderat-visioner yang layak menyandang gelar Pelestari Dialek Ngapak.
KHA Musallim Ridlo telah berpulang ke hadirat Allah, Kamis (1/5) silam. Jenazah almarhum dikebumikan di komplek Pondok Pesantren Al-Masruriyah Desa Kebumen, Kecamatan Baturraden. Dari pernikahannya dengan Nyai Solihah, beliau dikaruniai lima orang putra: M Ibnu Ridlo, Niswati Amanah, M Aman Ridlo, HM Maskun Ridlo, dan M Hanif Ridlo. Kini dakwah beliau di Pesantren Al-Masruriyah dilanjutkan HM Maskun Ridlo alias Gus Maskun. (Akhmad Saefudin)
Foto: KHA Musallim Ridlo (kanan) saat bersama KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur
“Warga Nahdliyin merasa sangat kehilangan beliau. Kiai Musallim adalah sosok yang sangat konsisten dalam memperjuangkan dan membela NU,” kata Drs H Taefur Arofat, salah satu pengurus PCNU Kabupaten Banyumas.
Tokoh kelahiran 27 Februari 1932 ini tumbuh dan dibesarkan di lingkungan pesantren. Musallim kecil mendapat didikan agama langsung dari sang ayah Almaghfurlah KHA Masruri. Ketika para santri lain masih terlelap tidur, remaja Musallim mengaji seorang diri di bawah penerangan lampu minyak. “Dulu ayah mengaji dari jam 3 dini hari hingga waktu Subuh tiba,” tutur M Ibnu Ridlo (50), putera sulung almarhum.
Selain mengaji ilmu agama, Musallim muda juga menempuh pendidikan formal di Sekolah Rakyat (setara SD). Ternyata, kepiawaian Musallim dalam ilmu agama telah diakui sang ayah sekaligus guru saat usianya relalif muda. Suatu hari KHA Masruri akan mengimami salat jamaah seperti hari-hari biasa namun beliau merasa was-was saat hendak takbiratul ihram. Lantas, beliau memilih mundur dan meminta Musallim menggantikannya sebagai imam.
Setamat SR, pemuda Musallim melanjutkan nyantri ke Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur. Di sana dirinya banyak belajar dan menimba ilmu dari KH Wahid Hasyim, ayah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). “KH Wahid Hasyim adalah inspirator ayah dalam banyak hal,” kata M Ibnu Ridlo.
Kepergian KH Wahid Hasyim yang begitu tiba-tiba dalam sebuah kecelakaan lalu lintas sungguh memukul hatinya. Konon, semangat pemuda Musallim sempat drop sepeninggal Kiai Wahid. Tak ingin berlarut-larut dalam kesedihan, beliau melanjutkan studi ke pesantren asuhan KH Bisri Mustofa di Rembang, JawaTengah. Sepulang nyantri dari Tebuireng dan Rembang, Kiai Musallim mulai berkiprah di bidang dakwah, pendidikan, dan politik.
Beliau mendapat amanah sebagai Ketua Partai NU Cabang Kabupaten Banyumas, saat itu partai politik sebelum berfusi ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dalam dunia pendidikan, almarhum turut serta merintis berdirinya Yayasan Perguruan Al-Hidayah yang berkantor pusat di Karangsuci Purwokerto bersama KH Muslich, KHM Sami’un, dan sejumlah ulama lain.
Politik dan Dakwah
Kiprah sebagai wakil rakyat dimulai saat beliau terpilih sebagai anggota DPR-GR Jawa Tengah (1971). Selanjutnya menjadi anggota DPRD Kabupaten Banyumas hingga tahun 1992. Semasa Ketua DPRD Kabupaten Banyumas dijabat Kisworo, dirinya menjabat Wakil Ketua DPRD bersama Agus Taruno.
Pada 1992-1997 KHA Musallim duduk sebagai anggota DPR-RI dari PPP. “Dalam dunia politik, Kiai Musallim dikenal sebagai sosok yang lurus ibarat penggaris; lempeng kaya garisan,” ujar Bupati Achmad Husein, seperti ditirukan M Ibnu Ridlo.
Aktivitas dakwah dan politik dilakoninya secara tulus dan penuh sukacita. Mengisi ceramah pengajian hingga pelosok pedesaan adalah hal dinantikan umat. Bahasa ceramahnya blakasuta alias lugas, tanpa tedheng aling-aling, sehingga mudah dicerna oleh kalangan awam sekalipun.
Sekadar catatan, beberapa tahun silam, Eyang Singa setiap malam Jumat Kliwon mengisi acara Gendu-Gendu Rasa di RRI Purwokerto. Hal ini diakui banyak pihak sebagai kiprah nyata dalam upaya nguri-nguri (baca: melestarikan) Bahasa Jawa dialek Banyumasan.
Demikian halnya dengan KHA Musallim Ridlo. Dalam aktivitas dakwahnya beliau sangat konsisten dengan dialek Banyumasan. Dalam konteks ini, Kiai Musallim adalah sosok ulama moderat-visioner yang layak menyandang gelar Pelestari Dialek Ngapak.
KHA Musallim Ridlo telah berpulang ke hadirat Allah, Kamis (1/5) silam. Jenazah almarhum dikebumikan di komplek Pondok Pesantren Al-Masruriyah Desa Kebumen, Kecamatan Baturraden. Dari pernikahannya dengan Nyai Solihah, beliau dikaruniai lima orang putra: M Ibnu Ridlo, Niswati Amanah, M Aman Ridlo, HM Maskun Ridlo, dan M Hanif Ridlo. Kini dakwah beliau di Pesantren Al-Masruriyah dilanjutkan HM Maskun Ridlo alias Gus Maskun. (Akhmad Saefudin)
Foto: KHA Musallim Ridlo (kanan) saat bersama KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur
Posting Komentar