Jika ada kemauan pasti ada jalan. Entah kapan awal mula pepatah
masyhur ini muncul. Tetapi, kebenarannya teruji berkali-kali di hampir
setiap zaman. Karena “mau”, seorang pemuda pemabuk pada masa Sayyidina Umar bin
Khathab, tak hanya mendapat “jalan” tapi juga keajaiban.
Kisah
tersebut bermula ketika Sayyidina Umar bin Khathab berjalan-jalan di lorong Kota
Madinah. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan seorang pemuda. Amirul
Mu’minin tahu, ada sesuatu di balik bajunya.
Sayyidina Umar bin Khathab
yang penasaran pun menanyakan kepada sang pemuda perihal benda yang
disembunyikan tersebut. Karena malu, pemuda ini tak lantas menjawab
pertanyaan Sayyidina Umar. Siapa tak gugup, ketika kepergok membawa minuman keras (khamr) di hadapan “Singa Padang Pasir”?
“Tuhanku,
jangan Engkau membuka rahasiaku. Dan janganlah Engkau permalukan diriku
di hadapan Sayyidina Umar bin Khathab. Tutuplah semua itu. Dan aku berjanji,
tidak akan minum minuman keras lagi untuk selama-lamanya,” gumam pemuda
itu dalam hati.
Kehadiran Sayyidina Umar ternyata sanggup menggerakkan
komitmen pemuda itu untuk mengakhiri perbuatan terlarangnya. Tekadnya
untuk bertobat betul-betul sudah bulat. Tapi, sang pemuda tak bisa
menghindar dari pertanyaan Sayyidina Umar bin Khathab.
“Ya Amiral-Mu’minin, aku membawa cukak,” aku sang pemuda berusaha menutupi aibnya.
“Bukalah hingga aku mengetahui apa sebenarnya yang berada di balik bajumu.”
Pemuda
itu lalu mengeluarkan benda yang ada di balik bajunya. Ajaib, minuman
keras itu tiba-tiba sudah berubah menjadi cukak segar yang bisa
dinikmati. Cerita ini bisa kita simak di kitab Al-Minahus Saniyah karya
Abdul Wahhab Asy-Sya’rani terjemahan Zaid Husein Al-Hamid.
Hikayat
di atas merupakan secuil bukti bahwa kejahatan seseorang sesungguhnya
sudah menemukan jalan terang sejak niat memperbaiki diri menghujam di
dada. Namun demikian, sebagai niat, ia tetaplah pada level permulaan.
Abdul
Wahhab Asy-Sya’rani mengurai lagi tahapan-tahapan tobat untuk mencapai
pada puncak kesucian diri. Pertama adalah bertobat dari dosa-dosa besar,
kemudian dari dosa-dosa kecil, dari perkaran yang dibenci (makruh),
lalu dari perkara yang menyalahi keutamaan.
Selanjutnya, bertobat dari prasangka baik terhadap diri sendiri, dari
prasangka bahwa dirinya adalah kekasih Allah, dari prasangka bahwa
dirinya sudah benar-benar bertobat, dan akhirnya bertobat dari kehendak
hati yang tidak diridlai oleh Allah. Puncaknya adalah bertobat setiap
kali alpa dari mengingat Allah, meskipun hanya sekejap.
Posting Komentar