Di zaman Yahya bin Syaraf An-Nawawi hidup, atau sekitar abad ke-7 H,
sebuah kebijakan kontroversial pernah dikeluarkan oleh rezim kekuasaan.
Negara hendak memungut paksa iuran wajib dari rakyat demi jalannya
aktivitas pemerintahan.
Sebagai ulama yang diikuti banyak orang, Imam Nawawi mendapat panggilan Raja azh-Zahir Berbis, pemimpin saat itu.
“Tandatanganilah fatwa ini!” perintah Raja kepada Imam Nawawi dengan nada meremehkan.
Imam
Nawawi sudah paham, rakyat sedang dicekam kesusahan. Kemiskinan meruyak
dan kelaparan di mana-mana. Anehnya, para pejabat dan keluarganya
justru hidup mewah, sarat fasilitas, serta gemar berfoya-foya.
“Tidak!” tegasnya.
“Apa alasannya?” sang raja tampak murka.
”Fatwa ini mendukung kezaliman.”
Kemarahan
Raja Berbis memuncak. Sambil menoleh ke para pejabat di sekelilingnya,
ia berteriak, ”Pecat dia dari semua jabatannya!”
Namun, sang raja
terpaksa gigit jari karena ulama sederhana penghasil puluhan karya
besar itu ternyata tak memiliki jabatan apapun.
”Kenapa Raja tak memberi hukuman mati saja?” usul salah satu pejabat.
“Demi Allah, aku sangat segan padanya.”
Imam
Nawawi termasuk ulama yang berpendirian kuat. Di hadapan penindasan,
perlawanannya keras dan berani meski risiko berat akan menghampirinya.
Agama memang terlalu suci untuk dijual dengan kepentingan politik,
apalagi yang tak berpihak pada rakyat.
Posting Komentar