Gemuruh penonton seperti akan membuat Gelora Bung Karno runtuh. Belum
lagi teriakan jutaan mata yang menonton lewat televisi ketika tandukan
maut Cristian Gonzales menggetarkan jaring tim nasional Filipina. Tim
nasional Indonesia memang sedang berada di puncak penampilannya, dan ini
didukung oleh para penonton, yang sudah lama merindukan kemenangan.
Tandukan maut Cristian Gonzales, yang sering dijuluki “El-Loco”, alias
“si Gila”, itu menyambut umpan lambung Firman Utina di menit ke-31.
Kiper Filipina Neil Etherington salah antisipasi, dan itulah
satu-satunya gol pada leg pertama itu.
Pada leg kedua, El-Loco kembali jadi pahlawan dengan tembakan jarak jauhnya. Dan Indonesia menuju final.
Di final berhadapan dengan pasukan muda Malaysia di stadion Bukit Jalil, tim Indonesia mengalami kekalahan dengan skor 0-3.Pada final leg kedua di Gelora Utama Stadion Bung Karno, target harus
menang minimal 3-0 memang cukup berat. Ketika pertandingan berkesudahan
2-1 untuk kemenangan Indonesia, wajah Gonzales terlihat sedih, beberapa
kali dia menutup mukanya dengan kaus timnas yang dikenakannya. Pupus
sudah harapan untuk menjadi juara karena Malaysia menang agregat 4-2.
Beberapa kali Gonzales tampak menengadah ke langit, kebiasaannya kalau
selesai menjaringkan gol sebagai tanda syukur, dan kini sebagai tanda
berduka.
Tertarik dengan Doa
Gonzales
lahir di Montevideo, Uruguay, dari keluarga Katholik yang taat dengan
nama lengkap Christian Gerard Alparo Gonzales pada 30 Agustus 1976.
Ayahnya, Eduardo Alparo, adalah seorang anggota militer, sedangkan
ibunya Meriam Gonzales seorang perawat di RS Montevideo.
Sang ibu mendidik anaknya dalam suasana Katholik yang kental, di setiap
sudut rumahnya ada patung Bunda Maria. Kalau bepergian ke mana pun,
ibunya tidak lupa membawa patung Bunda Maria sebagai pelindung.
Gonzales sudah akrab dengan sepak bola sejak berumur enam tahun, padahal
ayahnya ingin agar anaknya menjadi anggota militer seperti dirinya.
Tapi apa hendak dikata, anaknya ini benar-benar tergila-gila dengan
bola. Pada tahun 1988 sampai 1991, Gonzales sudah masuk klub Penarol
Uruguay, dan tahun 1994-1995 dia masuk klub South Amerika di Chile.
Saat umurnya 18 tahun, dia berkenalan dengan seorang wanita Indonesia
yang ketika itu sedang belajar salsa di sekolah Vina Delmar, Chile, yang
bernama Eva Nurida Siregar.
Perkenalannya dengan Eva membawa nuansa baru dalam kehidupan pribadinya. Eva seorang pemeluk agama Islam yang taat beribadah.
Awalnya hal itu tidak begitu menarik perhatian Gonzales. Tapi lama-lama
dia perhatikan, ada sesuatu yang luar biasa dengan kebiasaan kekasihnya
itu. Setiap lima waktu ia shalat, setelah itu berdoa. Kalau memulai
sesuatu membaca basmalah, dan kalau kaget membaca astaghfirullah.
Penasaran dengan hal itu, Gonzales menanyakannya, dan Eva menerangkan
sebatas pengetahuannya. “Kebiasaannya berdoa itu membuat ia tampak kuat
dan selalu percaya diri,” ujar Gonzales suatu ketika.
Gonzales pun mulai tertarik dengan Islam. Apalagi banyak buku bacaan agama yang dibaca Eva pun mulai dibacanya. Tahun 1995, Gonzales menikah dengan Eva Nurida Siregar di Montevideo.
Ada kebiasaan Eva yang membuat Gonzales sangat tersentuh, yaitu
rutinitas shalat Tahajjud yang dilakukan istrinya di tengah malam.
Tahun 1997 sampai 2001 mereka menetap di Argentina, karena Gonzales bermain di Klub Huracan de Carientes, Argentina. Tahun 2002 seorang agen menawarkan agar mereka pindah ke Indonesia,
karena ada klub di Indonesia yang akan menampung Gonzales. Klub itu
adalah PSM Makassar.
Gonzales menerima tawaran itu. Maka mulailah kiprah Gonzales di pentas liga Indonesia. Hasilnya, selama empat tahun dia menjadi
top scorer liga Indonesia dengan klub yang berbeda-beda.
Di tengah kesibukannya sebagai pemain bola profesional, Gonzales, atau
Mustafa Habibi, merasa bahwa agama adalah hal yang amat penting dalam
kehidupan seorang anak manusia.
Menggelar Pengajian sebelum Berlaga
Pasang-surut kehidupan Eva dan Gonzales bukannya tidak ada. Setelah mencuat sebagai top scorer
di Persik Kediri, Gonzales pernah berseteru dengan beberapa pemain lain
dan juga pernah dihukum PSSI tidak boleh bermain selama setahun karena
temperamennya yang emosional di lapangan.
Oleh istrinya, dia diajak ke majelis dzikir yang diasuh oleh Hj. Siti
Fatimah di Mojokerto. Di sini dia mendapatkan pembinaan spiritual yang
menjadi bekal berharga dalam aktivitasnya ke depan. Ibadahnya pun
bertambah rajin dan tidak lupa untuk shalat Tahajjud setiap akan
melakukan laga krusial. Sebagian penghasilannya disumbangkan untuk
membangun masjid, dan akhirnya berdirilah Masjid Al-Gonzali di
Mojokerto. Tidak lupa, setiap akan berlaga, Eva dan suaminya melakukan
pengajian di rumahnya di Perum Taman Persada, Mojokerto.
Gonzales pun tidak lagi mau diajak ke klab malam, seperti kebiasaannya
dulu, bahkan dia akan marah kalau ada yang mengajaknya. “Aku takut
kepada Allah SWT,” begitu alasannya.
Di samping Hj. Siti Fatimah, Hj. Nurhasanah, yang akrab disapanya “Bunda
Nur”, juga mewarnai perjalanan spiritual Gonzales. Bunda Nur adalah
pembina sebuah majelis ta’lim di Gresik. Melaluinya, keluarga Gonzales
mendapat bimbingan spiritual yang lebih mendalam, terutama menyikapi
naik-turunnya prestasi Gonzales.
Hasilnya, bisa dilihat sesudah itu, Gonzales tampil lagi sebagai
top scorer
dalam liga Indonesia di Persib Bandung. Dan ini membuatnya melangkah
mulus menjadi pilihan utama pelatih timnas Alfred Riedl sebagai
penyerang.
Ada kebiasaannya yang patut dicontoh ketika akan turun ke lapangan,
yaitu berdzikir. Di tasnya selalu ada tasbih untuk berdzikir.
“Aku selalu yakin dengan keajaiban dari Allah,” ujarnya mengomentari
warna-warni perjalanan hidupnya. Dia begitu mencintai Indonesia, dan
memilih menjadi warga negara Indonesia
Posting Komentar