Hadits merupakan salah satu rujukan sumber hukum Islam di samping kitab
suci Alquran. Di dalam hadis itulah terkandung jawaban dan solusi
masalah yang dihadapi oleh umat di berbagai bidang kehidupan. Berbicara
tentang ilmu hadis, umat Islam tidak akan melupakan jasa Syekh
Muhammad Nashiruddin al-Albani, atau yang lebih dikenal dengan Syekh
al-Albani. Ia merupakan salah satu tokoh pembaru Islam abad ini.
Karya dan jasa-jasanya cukup banyak dan sangat membantu umat Islam
terutama dalam menghidupkan kembali ilmu hadis. Ia berjasa memurnikan
ajaran Islam dari hadis-hadis lemah dan palsu serta meneliti derajat
hadis. Nama lengkap beliau adalah Abu Abdirrahman Muhammad Nashiruddin
bin al-Haj Nuh al-Albani. Dilahirkan pada tahun 1333 H (1914 M) di
Ashqodar (Shkodra), ibukota Albania masa lampau. Ia dibesarkan di tengah
keluarga yang tak berpunya secara materi, namun sangat kaya ilmu,
khususnya ilmu agama. Ayahnya, al-Haj Nuh, adalah lulusan lembaga
pendidikan ilmu-ilmu syari'at di ibukota negara kesultanan Turki Usmani
(yang kini menjadi Istanbul). Ia wafat pada hari Jumat malam, 21
Jumadil Tsaniyah 1420 H, atau bertepatan dengan tanggal 1 Oktober 1999,
di Yordania.
Ketika Ahmet Zogu berkuasa di Albania dan mengubah sistem pemerintahan
menjadi pemerintah sekuler, Syeikh al-Haj Nuh amat mengkhawatirkan
dirinya dan diri keluarganya. Akhirnya ia memutuskan untuk berhijrah ke
Syam (Suriah, Yordania dan Lebanon sekarang) dalam rangka menyelamatkan
agamanya dan karena takut terkena fitnah. Dari sana, ia sekeluarga
bertolak ke Damaskus.
Setiba di Damaskus, Syekh al-Albani kecil mulai mempelajari bahasa Arab.
Ia masuk sekolah madrasah yang dikelola oleh Jum'iyah al-Is'af
al-Khairiyah. Ia belajar di sekolah tersebut hingga kelas terakhir dan
lulus di tingkat Ibtida'iyah. Selanjutnya, ia meneruskan belajarnya
langsung kepada para ulama. Ia belajar Alquran dari ayahnya sampai
selesai, selain juga mempelajari sebagian fiqih mazhab Hanafi. Ia juga
mempelajari keterampilan memperbaiki jam dari ayahnya sampai mahir
betul. Keterampilan ini kemudian menjadi salah satu mata pencahariannya.
Pada usia 20 tahun, ia mulai mengkonsentrasikan diri pada ilmu hadis
lantaran terkesan dengan pembahasan-pembahasan yang ada dalam majalah
al-Manar, sebuah majalah yang diterbitkan oleh Syeikh Muhammad Rasyid
Ridha. Kegiatan pertama di bidang ini ialah menyalin sebuah kitab
berjudul al-Mughni 'an Hamli al-Asfar fi Takhrij ma fi al-Ishabah min al-Akhbar,
sebuah kitab karya al-Iraqi, berupa takhrij terhadap hadits-hadits
yang terdapat pada Ihya' Ulumuddin karangan Imam al-Ghazali. Kegiatan
Syekh Al-Albani dalam bidang hadis ini ditentang oleh ayahnya yang
berkomentar, ''Sesungguhnya ilmu hadits adalah pekerjaan orang-orang
pailit.''
Namun, Syeikh al-Albani justru semakin menekuni dunia hadis. Pada
perkembangan berikutnya, al-Albani tidak memiliki cukup uang untuk
membeli kitab. Karenanya, beliau memanfaatkan Perpustakaan az-Zhahiriyah
di Damaskus. Disamping juga meminjam buku dari beberapa perpustakaan
khusus. Karena kesibukannya ini, ia sampai-sampai menutup kios reparasi
jamnya. Ia tidak pernah beristirahat menelaah kitab-kitab hadis,
kecuali jika waktu shalat tiba.
Akhirnya kepala kantor perpustakaan memberikan sebuah ruangan khusus di
perpustakaan untuk beliau. Bahkan kemudian ia diberi wewenang untuk
membawa kunci perpustakaan. Dengan demikian, ia menjadi makin leluasa
dan terbiasa datang sebelum pengunjung lain datang. Begitu pula, ketika
orang lain pulang pada waktu shalat zuhur, ia justru pulang setelah
shalat isya. Hal ini dijalaninya selama bertahun-tahun.
Menulis dan mengajar
Semasa hidupnya, beliau secara rutin mengisi sejumlah jadwal kajian yang
dihadiri para penuntut ilmu dan dosen-dosen untuk membahas
kitab-kitab. Dari sinilah kemudian ia banyak menulis karya ilmiah dalam
bidang hadis, fiqih dan akidah. Karya-karya ilmiahnya ini membuat
beliau menjadi tokoh yang memiliki reputasi yang baik dan sebagai
rujukan alim ulama.
Oleh karena itu, pihak Jami’ah Islamiyyah (Universitas Islam Madinah)
meminta beliau untuk mengajar hadis dan ilmu-ilmu hadis di perguruan
tinggi tersebut. Beliau bertugas selama tiga tahun, dari 1381 H sampai
1383 H. Setelah itu ia pindah ke Yordania. Pada tahun 1388 H, Departemen
Pendidikan Yordania meminta Syekh al-Albani untuk menjadi ketua
jurusan Dirasah Islamiyah pada program pasca sarjana di sebuah
Perguruan Tinggi di Kerajaan Yordania.Tetapi situasi dan kondisi saat
itu tidak memungkinkan beliau memenuhi permintaan itu.
Pada tahun 1395-1398 H ia kembali ke Madinah untuk bertugas sebagai
anggota Majelis Tinggi Jam'iyah Islamiyah di sana. Di negeri itu pula,
al-Albani mendapat penghargaan tertinggi dari kerajaan Arab Saudi berupa
King Faisal Foundation atas jasa-jasanya dalam mengajarkan ilmu hadis
pada tanggal 14 Dzulqa'idah 1419 H.
Sebelum berpulang, Syekh Al-Albani berwasiat agar perpustakaan
pribadinya, baik berupa buku-buku yang sudah dicetak, buku-buku hasil
fotokopi, manuskrip-manuskrip (yang ditulis olehnya ataupun orang lain)
seluruhnya diserahkan kepada pihak Perpustakaan Jami'ah Islamiyyah.
Karya-karya beliau amat banyak, ada yang sudah dicetak, ada yang masih
berupa manuskrip dan ada yang hilang. Jumlahnya sekitar 218 judul. Karya
yang terkenal antara lain: Dabuz-Zifaf fi As-Sunnah al-Muthahharah, Al-Ajwibah an-Nafi'ah 'ala as'ilah masjid al-Jami'ah, Silisilah al-Ahadits ash Shahihah, Silisilah al-Ahadits adh-Dha'ifah wal Maudhu'ah, At-Tawasul wa anwa'uhu, dan Ahkam Al-Jana'iz wabida'uha.
Di samping itu, beliau juga memiliki buku kumpulan ceramah, bantahan
terhadap berbagai pemikiran sesat, dan buku berisi jawaban-jawaban
tentang berbagai masalah yang yang dihadapi umat Islam.
Kritikan yang Menuai Penjara
Kejelian dalam menganalisa hadis telah membuka cakrawala baru bagi Syekh
al-Albani. Ia sering dihadapkan kepada kenyataan hidup yang menyimpang
dari tuntutan Rasul. Praktik-praktik agama sehari-hari yang dipandang
sebagai Sunnah rasul oleh sebagian anggota masyarakat sebenarnya tidak
lain dari bid'ah (penyimpangan dalam agama) yang tidak beralasan. Ia
juga harus berhadapan dengan gejala fanatik mazhab yang berkembang di
kalangan ulama, termasuk ayahnya sendiri yang sangat mengkultuskan
mazhab Imam Abu Hanifah. Al-Albani akhirnya membulatkan tekad untuk
menghapuskan praktik-praktik keagamaan yang tidak benar ini melalui
berbagai pengarahan kepada masyarakat.
Al-Albani mengakui banyak terpengaruh oleh metode penelitian akademis
seperti dilakukan oleh Rasyid Ridha, terutama dalam meneliti warisan
pengetahuan Islam. Karya ilmiah Islam pertama yang ditelitinya adalah
buku Ihya' Ulumi 'd-Din karya Imam al-Ghazali. Beliau mulai
tertarik dengan karya ini setelah membaca sebuah essai yang ditulis oleh
Rasyid Ridha. Beliau telah mengumpulkan berbagai tanggapan yang
ditulis tentang buku Ihya' Ulumi 'd-Din dan meneliti semua hadits serta sumber yang dipakai Imam al-Ghazali dalam buku ini.
Beliau tidak segan-segan merevisi pendapat ulama-ulama mujtahidin bila
berdasarkan pengamatan beliau, para ulama tersebut ceroboh dalam
mempergunakan hadis atau jauh dari jiwa syari'at Islam. Beliau tidak
peduli apakah yang ceroboh tersebut adalah imam mazhab seperti Abu
Hanifah atau Ibnul Qayyim al-Juaziyah dan Ibnu Taimiyyah, apalagi
ulama-ulama belakangan yang lebih banyak mendalami pengkajian mazhab
tetapi kurang hati-hati dalam menggunakan sabda Rasul. Justru kritikan
semacam ini kadang-kadang membuat beliau bentrok dengan ulama-ulama
setempat yang merasa kewibawaan mereka terlangkahi.
Selanjutnya campur tangan penguasa politik pun sulit untuk dihindari
karena pendapat beliau dianggap menimbulkan keresahan di tengah
masyarakat. Sebagai akibatnya, Syekh al-Albani pernah mendapat
pencekalan dan mendekam dalam penjara karena mempertahankan kebenaran
pendapatnya. Tercatat beliau dua kali mendekam dalam penjara. Kali
pertama selama satu bulan dan kali kedua selama enam bulan.
Kendati banyak yang tidak menyukainya, namun tidak sedikit juga
ulama-ulama dan kaum pelajar yang simpati terhadap dakwah beliau
sehingga dalam majelisnya selalu dipenuhi oleh para penuntut ilmu yang
haus akan ilmu yang sesuai dengan Al Qur'an dan Sunnah.
Posting Komentar