Istilah "Sakitnya Tuh Di Sini" emang sering digunakan untuk
mengungkapkan kegalauan yang memuncak di dalam hati. Misalnya, ketika
ada di antara kamu yang udah berusaha sekuat tenaga untuk move on
dari si dia yang telah melukai hatimu, tapi pada akhirnya mantanmu
menyapa kembali lewat chat, dengan sapaan: HAI! Gara-gara tiga huruf
tadi, eh kamu malah gagal move on. Bukan mustahil kalo kemudian
terjalin komunikasi tidak penting antara keduanya. Mulai dari bercanda
sana-sini, lalu menjurus pada flashback tentang kisahmu
bersamanya di masa lampau. Tapi, tiba-tiba mantanmu menghilang tanpa
kabar dan tidak pernah kembali lagi. Walhasil, habis galau terbitlah
‘sakitnya tuh di sini’ (sambil nunjuk dada dan pasang ekspresi super
duper kucel)
Ya keleus, gini doang pake sakit hati segala! Yang lebih lebay-nya
lagi nih, ada lho beberapa teman kita yang menunjukkan sakit hatinya
menggunakan gambar yang diberi tulisan atau yang sering kita dengar
dengan istilah meme (malah ada website khusus meme generator). Coba ngaku, siapa nih yang pernah bikin meme, lalu di-upload ke media agar banyak yang simpati? Atau, meme itu dijadikan sebagai alat modus supaya si ‘dia’ jadi peka?
Berdasarkan fakta
di atas bisa kita lihat betapa mirisnya para remaja sekarang yang mudah
tumbang hanya karena ditinggal gebetan. Bukankah sebagai remaja muslim
yang baik dan berkualitas, kita justru harus merasa "Sakitnya Tuh Di Sini"
ketika melihat kawan-kawan kita getol banget bermesraan dengan selain
mahromnya? Tapi, mengapa kita malah turut berpartisipasi dalam menikmati
kerusakan yang tengah mengakar pada setiap diri teman-teman remaja
kita?
Lalu, muncul pertanyaan: Lho, emangnya kenapa sih kita harus
ikut-ikutan merasa "Sakitnya Tuh Di Sini" ketika melihat teman-teman kita
berpacaran? Hehehe, pastikan bukan karena kita ngiri. Sorry
ya, seharusnya kita nggak punya tampang buat ngiri dalam hal kemaksiatan
yang dilakukan orang lain. Justru, kita seharusnya merasa "Sakitnya Tuh Di Sini" adalah bagian dari kepedulian kita. Nyesek dada kita
ngeliat banyak teman kita berbuat maksiat karena hal itu artinya mereka
nggak taat sama Allah Ta’ala. Kasihan sama mereka. Iya, karena kita
berpikir: “Kok, bisa-bisanya sih seorang muslim pacaran atau berbuat
maksiat lainnya? Apakah nggak takut murka Allah?” Ya, ini soal
kepedulian. Peduli? Emang sipa elo? Yee.. gue peduli itu karena kasihan
sama kamu yang berbuat maksiat.
Hah, pacaran itu maksiat? Tentu saja, karena berpacaran adalah salah
satu perbuatan yang berpotensi besar mendekati zina yang memang
diharamkan Allah Ta’ala, dan termasuk dosa besar yang sekarang tersebar
secara legal di tengah-tengah kita. Padahal Allah Ta’ala telah berfirman
(yang artinya), “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS al-Israa’ [17]: 32)
So, kita kudu merasa "Sakitnya Tuh Di Sini" ketika melihat
teman-teman kita hobi ngegalauin gebetan yang masih belum tentu yang
digalauin itu jodohnya di masa depan (nah lho, jadi bingung). Jangan
cuma ngerasa "Sakitnya Tuh Di Sini" kalau lagi mencret (tunjuk perut dan
pantat). Eh, sorry! Ooppss…
Sakitnya Tuh Di Akhirat
Banyak media massa yang dari dulu senang nge-judge
bahwa agama Islam adalah agama yang radikal, keras, tak mengenal
toleransi, ataupun kejam. Opini ini telah menyebarkan racun bagi dunia,
bahkan bagi penganut agama Islam sendiri. Banyak saudara kita yang
justru malah minder sama agamanya sendiri. Takut belajar Islam lebih
dalam lagi, karena nggak mau dianggap teroris. Lalu, apalah gunanya
sebuah agama jika hanya dijadikan sebagai identitas, tanpa kita
memahaminya lebih rinci?
Hati-hati lho, akibat gagal paham ini, kita malah buta dengan
keyakinan kita sendiri. Gawatnya lagi, kita malah terombang-ambing di
dalamnya, dan ikut-ikutan mempercayai sesuatu yang belum pasti–apalagi
yang udah jelas nggak benar. Padahal Allah Ta’ala berfirman di dalam
al-Quran (yang artinya), “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu
tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS al-Israa’ [17]: 36)
Nah, itu sebabnya kita merasa "Sakitnya Tuh Di Sini" jika Islam
terus-terusan dipandang sebelah mata dan dinilai buruk serta dicap
sebagai ajaran terorisme. Mengapa? Karena Islam memang bukan agama yang
keras. Islam adalah agama yang senantiasa menjaga pemeluknya dan
memberikan ketenangan yang memuaskan akal, hati, dan jiwa. Jadi,
tuduhan-tuduhan itu jelas fitnah. Hanya mereka saja yang belum paham dan
telanjur keder sama Islam, dan akhirnya memvonis ini dan itu yang tidak
jelas kebenarannya.
Itu sebabnya, wajib bagi kita untuk belajar Islam lebih serius lagi.
Supaya apa? Supaya kita memiliki pengetahuan tentang Islam sekaligus
memahaminya. Selain itu, kita bisa memperluas wawasan kita tentang Islam
yang sesungguhnya. Tidak hanya tahu tentang ibadah mahdoh saja, tapi
juga tentang bagaimana penerapan syariat Islam sehari-hari dalam seluruh
aspek kehidupan. Perlu kita ketahui, bahwa belajar Islam akan membawa
seorang muslim ke surga. Asalkan kita belajar Islam dengan niatan ikhlas
karena mengharap keridhoan Allah Ta’ala. Jangan sampai nih, kita malah
merasa "Sakitnya Tuh Di Akhirat" karena tidak mau belajar Islam dan
kecemplung di neraka. Naudzubillahiminzalik!
Lalu, gimana sih caranya supaya kita tidak merasakan "Sakitnya Tuh Di Akhirat"? Yup! Kamu harus kuat menahan godaan hidup yang
terpampang nyata di depan matamu (backsound: ngomong ala Syahrini, nih).
Tidak hanya godaan buat belanja barang diskonan di mall bagi
para wanita yang hobi belanja, tapi juga menahan godaan untuk berbuat
maksiat. Jangan sampai deh, kita terjerumus pada lubang maksiat yang di
dalamnya memang dipenuhi dengan kenikmatan duniawi yang melenakan.
Yakinlah, surga lebih indah meski dibandingkan dengan dunia dan
seisinya. Siapa yang di sini kepengen masuk surga? Ayo, tunjuk jarinya
dan buat tanda like!
Gimana sih caranya supaya kita bisa dengan mudah menghindari hal-hal
negatif, yang ujung-ujungnya malah membuat kita bersimbah dosa? Perlu
kita ketahui, berbuat baik bukanlah sebuah perkara yang mudah. Nah,
karena berbuat baik itu memang susah, namun hadiahnya wah, biasanya
godaannya berat. Gimana nggak wah—atau kalo ada ungkapan lainnya yang
lebih keren boleh ditulis. Apa hadiahnya? Yup, hadiahnya surga, Bro en
Sis. Coba kalau berbuat baik itu mudah, ya mungkin hadiahnya cuma kupon
makan siang di warteg! (sorry buat para penggemar makan di warteg.)
Nikmatnya Tuh Di Akhirat
Bagi kita kaum muslimin, biarlah "Sakitnya Tuh Di Sini"
dalam pengertian tidak bisa bebas berbuat di dunia sesuai hawa nafsu
buruk kita. Iya, apalagi kita-kita ini kan masih remaja, Sob. Namanya
remaja ya seringkali berkhayal bisa pacaran, bisa makan enak di resto
kelas wahid (meskipun makanannya tak jelas halal-haramnya), bisa
jalan-jalan kemana suka (termasuk ke tempat maksiat), hangout
bareng teman cowok dan cewek (baca: campur-baur) di suatu tempat
favoritmu dan aktivitas bernuansa kebebasan lainnya. Umumnya itu yang
diinginkan. Bebas tanpa ada yang melarang (termasuk ogah diatur sama
syariat Islam). Tetapi ketika ada yang melarang, rasa-rasanya banyak
yang terkekang lalu bilang, "Sakitnya Tuh Di Sini". Ya, nggak apa-apa. Meskipun "Sakitnya Tuh Di Sini", yakni di dunia ini gara-gara nggak
bisa berbuat maksiat, yang penting "Nikmatnya Tuh Di Akhirat". Betul nggak?
Nah, supaya bisa "Nikmatnya Tuh Di Akhirat" kamu kudu menghindari semua
hal negatif karena umumnya bisa berujung dosa. Dosa, adalah beban dan
penderitaan. Tentu saja dosa akan menjadi tabungan keburukan bagi kita.
Iya, tabungan keburukan kalo terus berbuat dosa. Meski banyak amal
baiknya, kita pantas khawatir kalo amal buruk kita justru melebihi
banyaknya amal baik kita. Naudzubillahi min dzalik. Aduh, ngeri. Ayo istighfar rame-rame!
Itu sebabnya, ada peribahasa yang sepertinya bagi sebagian dari kita
sudah akrab, “Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian.
Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”. Nah, itu artinya kalo
kita ingin mendapatkan kesenangan di akhirat, yakni kenikmatan di
kehidupan yang kekal tersebut, maka harus berani bersusah payah di
dunia. Ya, bersusah payah di sini artinya kita harus beriman kepada
Allah Ta’ala, bertakwa, beramal shalih, mengajak orang lain berbuat baik
dan sekaligus mencegah orang lain berbuat maksiat atau kemunkaran,
menghindari dosa dan maksiat (walaupun perbuatan tersebut menurut hawa
nafsu membuat kita senang). Semua itu butuh pengorbanan tak sedikit,
lho. Itu sebabnya, bersusah payah karena ingin mendapatkan kesenangan di
akhirat harus berani ninggalin kesenangan yang bertabur maksiat di
dunia. Supaya apa? Supaya "Nikmatnya Tuh Di Akhirat". Siip. Deal!
Kita perlu meyakini bahwa upaya kita untuk menjauhi
maksiat, akan dibalas dengan pahala dari Allah Ta’ala. Tentu saja, kita
sangat menanti-nantikan kehidupan sejati kita di dalam surga. Jangan
malah mengejar kesenangan bertabur maksiat di dunia, karena kalau masuk
neraka… ih, "Sakitnya Tuh Lama Banget"!
Posting Komentar