Atas nama cinta, tak sedikit artis muslim/muslimah melakukan pacaran hingga kawin beda agama (kawin campur) dengan artis pria/wanita non Muslim, meski tidak direstui kedua orang tuanya. Naifnya, banyak kalangan menjadikan artis tak sekedar tontonan, tapi sebagai panutan, disadari atau tidak. Padahal kehidupan rumah tangga beda agama di kalangan artis juga amburadul, banyak yang kandas di tengah jalan ketika sudah dikaruniai buah hati.

Pernikahan beda akidah makin marak ketika mendapat pembenaran oleh agama palsu Islam Liberal yang menghalalkan nikah beda agama. Penghalalan nikah beda agama ini dirilis resmi dalam buku Fiqih Lintas Agama (283 halaman) yang diterbitkan Paramadina bekerja sama dengan The Asia Foundation, sebuah yayasan milik Amerika.

Islam Liberal mengajarkan bahwa nikah beda agama secara umum diperlukan untuk membangun toleransi dan kesepahaman antara masing-masing pemeluk agama:

“Tujuan dilangsungkannya pernikahan adalah untuk membangun tali kasih (al-mawaddah) dan tali sayang (al-rahmah). Di tengah rentannya hubungan antaragama saat ini, pernikahan beda agama justru dapat dijadikan wahana untuk membangun toleransi dan kesepahaman antara masing-masing pemeluk agama. Bermula dari ikatan tali kasih dan tali sayang, kita rajut kerukunan dan kedamaian” (Fiqih Lintas Agama, hlm. 164).


Para tokoh Islam Liberal pun memiliki profesi sampingan sebagai penghulu nikah beda agama. Jika KUA tidak berani menikahkan pasangan beda agama, maka tokoh Islam Liberal malah mendukung nikah beda agama. Karena kebanyakan kliennya adalah kalangan artis, maka profesi baru ini yang sangat ampuh mendulang popularitas.

Contoh proyek nikah beda agama yang gampang diingat adalah pernikahan Karlina Octaranny (Muslimah) dengan Deddy Cahyadi Sundjoyo alias Deddy Corbuzier (pesulap Katolik). Pernikahan yang digelar  di Jakarta, Kamis (24/2/2005) itu dibimbing oleh Dr. Zainun Kamal, salah satu dedengkot Islam Liberal.

Beberapa tahun kemudian, pernikahan beda agama ini kandas. Keduanya bercerai pada 31 Januari 2013, yang dipicu banyak masalah rumah tangga. Deddy berterus terang bahwa salah satu batu sandungan utama dalam rumah tangganya adalah problem beda keyakinan agama. Problem ini baru disadarinya setelah nikah beda agama dijalaninya.


“Salah satunya mungkin perbedaan keyakinan agama. Pas nikah saya sudah tahu kita berbeda, anak saya nantinya akan memilih salah satu,” ujarnya seperti dikutip okezone.com, Jum’at (22/3/2013).

Ulama Haramkan Nikah Beda Agama


Jauh-jauh sebelum Islam Liberal meramaikan kontroversi nikah beda agama, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah mengeluarkan fatwa bahwa pernikahan beda agama atau kawin campur, hukumnya haram! Fatwa ini disusun berdasarkan Musyawarah Nasional (Munas) II pada 26 Mei-1 Juni 1980 M (11-17 Rajab 1400 H).

Dengan tegas fatwa MUI yang ditandatangi Ketua Umum Prof Dr Hamka dan Sekretaris Drs H Kafrawi menyatakan bahwa perkawinan wanita Muslimah dengan laki-laki non-Muslim adalah haram hukumnya: “Dan seorang laki-laki Muslim diharamkan mengawini wanita bukan Muslim.”

Selanjutnya MUI mengakui bahwa perkawinan antara laki-laki Muslim dengan wanita Ahli Kitab terdapat perbedaan pendapat. Tapi dengan banyaknya dampak negatif yang ditimbulkan, maka MUI menyatakan pernikahan ini juga haram: “Setelah mempertimbangkan bahwa mafsadahnya lebih besar daripada maslahatnya, MUI memfatwakan perkawinan tersebut hukumnya haram!”

Ayat-ayat yang menjadi dalil haramnya nikah beda agama, di antaranya:

“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia  supaya mereka mengambil pelajaran” (Qs Al-Baqarah 221).

“…Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka (wanita mukmin) tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka…” (Qs Al-Mumtahanah:10).

“Hai orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (Qs At-Tahrim: 6).

Sabda Rasulullah Saw: “Barangsiapa telah kawin, ia telah memelihara setengah bagian dari imannya, karena itu, hendaklah ia takwa kepada Allah dalam bagian yang lain” (HR Tabrani)

“Tiap-tiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah sehingga ia menyatakan oleh lidahnya sendiri. Maka, ibu bapaknyalah yang menjadikannya (beragama) Yahudi, Nasrani, atau Majusi” (HR Bukhari).

Fatwa MUI itu sangat tepat dan relevan, karena tujuan pernikahan itu bukan sekedar mengejar kesenangan dunia, tapi juga kebahagiaan dunia dan akhirat. Beberapa tujuan utama syariat pernikahan yang syar’i adalah:

1. Menjaga akhlak dan moral agar tidak terjerumus ke dalam maksiat dan perzinahan (Qs Al-Isra 32);

2. Melaksanakan sunnah Rasulullah Saw dan para nabi sebelumnya (Qs Ar-Ra’du 38);

3. Membangun keluarga sejahtera lahir dan batin (Qs Ar-Rum 21);

4. Untuk melahirkan keturunan yang shalih, beriman dan bertakwa kepada Allah Swt (Qs Maryam 1-6, Ibrahim 39-40, Al-Furqan 74);

5. Menghubungkan silaturrahim, kekeluargaan dan ukhuwah islamiyah atas dasar keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt (Qs An-Nisa’ 1);

6. Membangun rumah tangga yang bertanggungjawab dan memudahkan rezeki dari Allah Swt (Qs An-Nur 32);

Keenam tujuan pernikahan ini hanya dapat dicapai dalam keluarga seakidah. Pasangan beda agama mustahil mencapai tujuan pernikahan tersebut, karena pilar utama pernikahan yang berkah, bahagia dan sejahtera dunia dan akhirat adalah persamaan aqidah. Rasulullah Saw bersabda:

“Seorang wanita dinikahi karena empat faktor, yakni: harta kekayaannya, kedudukannya, kecantikannya, dan agamanya. Pilihlah yang memiliki agama (muslimah) agar engkau beruntung” (HR Bukhari dan Muslim).

Kristenisasi di Balik Kawin Campur


Bagi siapapun yang ingin menikah beda agama (kawin campur) dengan umat Kristen, waspadalah terhadap misi kristenisasi yang sangat terbuka lebar.

Prinsip Kristen Protestan. Meskipun tidak melarang perkawinan antara Protestan dengan non Protestan, namun tetap memberikan beberapa catatan keras. Pendeta Protestan Dr Fridolin Ukur, dalam Beberapa Catatan Pihak Protestan Mengenai Hasil Dialog KWI-PGI Tentang Kawin Campur, menyatakan jika terjadi nikah beda agama antara Protestan dengan non Protestan, maka akan dilakukan beberapa alternatif, antara lain:

1) pernikahan dilakukan di kantor catatan sipil dan kepada kedua mempelai diberikan penggembalaan (pembinaan iman Protestan) secara khusus, 2) Gereja melakukan pemberkatan nikah beda agama, setelah pihak non Protestan membuat pernyataan bahwa dia bersedia ikut agama Protestan, 3) Mempelai nikah beda agama tidak diberkati, tapi dikeluarkan dari keanggotaan gereja.

Dalam pandangan Katolik yang diatur dalam Hukum Kanonik yang disahkan oleh Paus Yohanes Paulus II tanggal 25 Januari 1983, nikah beda agama itu tidak sah. Karena dalam kanon 1055 pasal 1-2 dinyatakan bahwa perkawinan yang sah adalah nikah antara pria dan wanita yang dibaptis dan diangkat menjadi sakramen dan dilakukan menurut aturan gereja. Maka dalam kanon 1086 dan 1124 dinyatakan bahwa prinsip agama Katolik adalah melarang penganutnya untuk melakukan nikah dengan non Katolik.

Namun dalam kasus nikah antara Katolik dan non Katolik, bisa dianggap sah bila dilakukan sesuai dengan hukum Katolik dan mendapat dispensasi dari Ordinaris Wilayah atau uskup (kanon 1124). Adapun penjabaran dispensasi itu diuraikan dalam kanon 1125 pasal 1: Pihak Katolik bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan iman (murtad), serta berjanji dengan jujur untuk berusaha dengan sekuat tenaga agar semua anak-anaknya dibaptis dan dididik secara Katolik.

Jadi, jauh sebelum kelompok “liberal berkedok Islam” menghalalkan pernikahan berbeda agama, Paus sudah mengantisipasi nikah beda agama untuk kepentingan misi Katolik.


Prinsip Kristen Protestan dan Katolik jelas sekali bahwa mereka mengincar akidah Islam dari keluarga beda agama. Protestan menegaskan bahwa “pihak non Protestan membuat pernyataan bahwa dia bersedia ikut agama Protestan.” Sedang Katolik berusaha mengkatolikkan anak-anak hasil pernikahan beda agama dengan aturan tegas: “berjanji dengan jujur untuk berusaha dengan sekuat tenaga agar semua anak-anaknya dibaptis dan dididik secara Katolik.”

Dengan demikian, pihak yang paling diuntungkan dari doktrin penghalalan nikah campur oleh Islam Liberal adalah pihak non Muslim yang sudah mengantisipasi kawin campur dengan misi Kristenisasi. Ini jelas membuka peluang pemurtadan terhadap umat Islam.

Posting Komentar