Di kampung Ma’la, tak jauh dari lokasi pemakaman Siti Khadijah di
kota suci Makkah Almukarromah, terdapat sebuah masjid yang bernama
unik, Masjid Jin. Masjid yang terletak dari arah Masjidil Haram menuju
pemakaman Ma’la itu diberi nama Jin bukan karena didirikan oleh para
jin, melainkan tempat beberapa jin berdialog dan menyatakan beriman dan
mengucap kalimat syahadat di hadapan oleh Nabi Muhammad SAW.
Masjid dengan luas 10 x 20 meter itu memiliki dua lantai dan satu basement. Di atap masjid bagian kubah dihias dengan tulisan kaligrafi Alquran Surat Al Jin ayat 1-9.
Seperti dilansir Fiqihislam.com.
Masjid Jin ini terkait erat dengan suatu peristiwa yang sangat
langka dan penting yang berkaitan dengan bangsa jin dan dakwah Islam.
Peristiwa yang dimaksud adalah masuk Islamnya serombongan jin di
masjid tersebut setelah mendengar dan menghayati lantunan ayat-ayat suci
Alquran yang dibacakan oleh Nabi Muhammad SAW.
Pada kesempatan itu, para jin berbaiat (berjanji setia) untuk beriman
kepada Allah SWT, mengikuti ajaran Islam, dan menyebarkan agama Allah
di kalangan mereka. Oleh sebab itu, masjid ini dikenal juga dengan nama
Masjid Al-Bai’ah, yakni masjid tempat serombongan jin melakukan baiat.
Peristiwa besar ini diungkapkan oleh Allah SWT dalam Alquran surat Al-Ahqaf ayat 29-32: “Dan
(ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang
mendengarkan Alquran, maka tatkala mereka menghadiri pembacaan (nya)
lalu mereka berkata, “Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)!”
“Ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya
(untuk) memberi peringatan. Mereka berkata, “Hai kaum kami, sesungguhnya
kami telah mendengarkan kitab (Alquran) yang telah diturunkan sesudah
Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada
kebenaran dan kepada jalan yang lurus.”
“Hai kaum kami terimalah (seruan) orang yang menyeru kepada Allah
dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu
dan melepaskan kamu dari azab yang pedih. Dan orang yang tidak menerima
(seruan) orang yang menyeru kepada Allah maka dia tidak akan melepaskan
diri dari azab Allah di muka bumi dan tidak ada baginya pelindung
selain Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.”
Dalam suatu riwayat yang dimuat Imam Bukhari dan Imam Tirmidzi yang
berasal dari Ibnu Abbas, disebutkan bahwa peristiwa pertemuan antara
Rasulullah SAW dan serombongan jin itu terjadi ketika Rasulullah SAW dan
serombongan sahabat sedang dalam perjalanan menuju pasar Ukkadz.
Ketika sampai di daerah Tihamah, Rasulullah SAW dan rombongannya
berhenti untuk melaksanakan Shalat Fajar. Rupanya, shalat Fajar yang
dilakukan Rasulullah SAW dan para sahabat tersebut mengakibatkan
terhalangnya berita-berita langit yang biasa dicuri dengar oleh para
syetan (jin yang kafir). Bahkan, syetan-syetan (jin-jin kafir) yang
sedang mencoba mencuri berita tersebut mendapat lemparan bintang-
bintang sehingga terpaksa pulang ke tempat kaumnya.
Sesampai di tempat kaumnya, syetan-syetan (jin-jin kafir) tersebut
ditanya oleh kaumnya, “Apa yang menyebabkan kalian terhalang mendapat
berita langit?”
Mereka menjawab, “Kami terhalang mendapatkan berita langit, bahkan kami dikejar oleh bintang-bintang.”
Kaum syetan menjawab, “Tidak mungkin ada halangan antara kita dengan berita langit. Pasti ini ada sebabnya!”
Pimpinan mereka memerintahkan, “Menyebarlah kalian ke barat dan ke timur. Carilah penghalang tersebut!”
Lalu syetan-syetan (jin-jin) tersebut menyebar ke seluruh pelosok
jagad mencari penyebab terhalangnya berita langit tersebut. Sebagian di
antara mereka sampai ke daerah Tihamah tempat Rasulullah SAW dan para
sahabat berhenti. Ketika itu Rasulullah SAW tengah melakukan shalat
Subuh.
Para jin tersebut mendengar dan memerhatikan dengan seksama bacaan
Rasulullah SAW. Kemudian mereka berkata, “Demi Allah, pasti inilah yang
menyebabkan kita terhalang dari berita langit.”
Mereka sangat kagum terhadap ayat-ayat Alquran yang mereka dengar.
Mereka mengimaninya. Mereka lalu pulang ke kaumnya dan menyampaikan
kejadian yang mereka alami. Kaum mereka pun menerima dan mengimani
ajaran yang dibawa tersebut.
Peristiwa ini pula yang melatarbelakangi turunnya Alquran surat
Al-Jin ayat 1. Ayat ini menginfomasikan kepada Nabi Muhammad SAW tentang
peristiwa alam gaib yang terjadi di sekeliling Rasulullah SAW dan para
sahabat ketika itu. Rasulullah SAW kemudian menyampaikan pemberitahuan
Allah SWT tersebut kepada para sahabat dan umat Islam.
Dalam surat Al-Jin, Allah SWT memberikan informasi, “Katakanlah
(hai Muhammad): “Telah diwahyukan kepadaku bahwasanya sekumpulan jin
telah mendengarkan (Alquran), lalu mereka berkata: ‘Sesungguhnya kami
telah mendengarkan Alquran yang menakjubkan, yang memberi petunjuk
kepada jalan yang benar, lalu kami beriman ke padanya. Dan kami
sekali-kali tidak akan mempersekutukan seorang pun dengan Tuhan kami,
dan bahwasanya Maha Tinggi kebesaran Tuhan kami, Dia tidak beristeri dan
tidak (pula) beranak.”
Kata jin secara kebahasaan mengandung makna ketertutupan atau
ketersembunyian. Para pakar memberikan bermacam-macam definisi tentang
jin. Muhammad Farid Wajdi menyatakan jin adalah makhluk yang terbuat
dari hawa atau api, berakal, tersembunyi, dapat membentuk diri dengan
berbagai bentuk, dan mempunyai kemampuan untuk melaksanakan
pekerjaan-pekerjaan berat.
Sayyid Sabiq mendefinisikan jin dengan sejenis ruh yang berakal,
berkehendak, mukallaf (dibebani tugas-tugas oleh Allah) sebagaimana
manusia, tetapi mereka tidak berbentuk materi sebagaimana bentuk materi
yang dimiliki manusia, yakni luput dari jangkauan indra atau tidak dapat
terlihat sebagaimana keadaannya yang sebenarnya atau bentuknya yang
sesungguhnya dan mereka mempunyai kemampuan untuk tampil dalam berbagai
bentuk.
Dalam Alquran ditemukan paling tidak lima kata yang digunakan untuk
menunjuk makhluk jin, yaitu jin, jan, jinnat, iblis, dan syaithan. Kata
iblis dimasukkan ke dalam kata-kata yang menunjukkan jin karena pada
hakikatnya iblis tergolong jenis jin.
Kata syaithan termasuk juga yang menunjuk kepada makna jin karena
syaitan itu terdiri dari jin dan manusia. Sedangkan kata khannas
merupakan salah satu macam syaitan yang juga terdiri dari manusia dan
jin.
Jin tercipta dari bahan dasar berupa api, berkembang biak, dan
membutuhkan makanan untuk kelangsungan hidupnya. Jin diciptakan oleh
Allah berpasangan. Ada jin laki-laki atau jantan dan ada pula jin
perempuan atau betina. Jin mempunyai keinginan dan kemampuan untuk
melakukan hubungan seksual.
Oleh sebab itu, jin juga dapat melahirkan keturunan dan selanjutnya
membentuk kelompok atau masyarakat jin. Jin mempunyai beberapa kemampuan
yang di antaranya melebihi kemampuan yang dimiliki manusia. Misalnya,
jin dapat menjelajahi ruang angkasa dan menyadap berita-berita langit.
Jin juga mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan berat. Di antara tentara
dan pekerja Nabi Sulaiman, terdapat golongan jin dan syaitan yang
bertugas melakukan beberapa jenis pekerjaan berat, seperti mendirikan
bangunan, patung-patung, piring-piring besar, dan menyelami lautan.
Pada dasarnya, jin tidak dapat dilihat oleh mata manusia. Hal ini didasarkan kepada firman Allah dalam surat Al-A’raf: 27, “… sesungguhnya ia (syaitan) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka…”
Para ulama memandang ayat ini sebagai dalil yang sangat kuat tentang
tidak mungkinnya manusia melihat jin. Imam Syafi’i bahkan berkata,
“Barangsiapa yang mengaku melihat jin, maka ditolak kesaksiannya,
kecuali Nabi.”
Rasyid Ridha juga menegaskan, “Barangsiapa yang mengaku melihat jin,
maka itu hanya ilusi atau ia melihat binatang aneh yang diduganya jin.”
Ketidakmampuan manusia melihat jin dan kemampuan jin melihat manusia
adalah karena berbedanya unsur kejadian manusia dan jin. Manusia adalah
makhluk kasar, sedangkan jin adalah makhluk halus. Sesuatu yang halus
dapat melihat yang kasar, tidak sebaliknya.
Sementara itu ada pula ulama yang menyatakan kemungkinan jin dapat
dilihat oleh manusia. Allah dapat saja memberikan kemampuan istimewa
kepada orang tertentu, sehingga mampu melihat makhluk halus.
Firman Allah dalam surat Al-A’raf ayat 27 di atas tidak menafikan
kemampuan melihat jin secara mutlak. Ayat itu hanya mengatakan bahwa
manusia tidak dapat melihat jin pada suatu tempat, atau suatu keadaan,
atau suatu waktu ketika jin melihat manusia. Namun, selain itu tidak
tertutup kemungkinan manusia dapat melihat jin.
Ulama lain berpendapat bahwa jin hanya dapat dilihat oleh para nabi
atau hanya pada masa kenabian. Ketika itu, Allah mengubah mereka menjadi
makhluk kasar. Sekarang tidak bisa lagi.
Kedua pendapat yang terakhir menurut Quraish Shihab terkesan seperti
dibuat-buat. Pendapat lain yang agaknya bisa diterima adalah bahwa jin
dapat dilihat manusia jika jin berubah mengambil bentuk makhluk yang
dapat dilihat manusia. Hal ini tidak terbatas bagi orang atau waktu
tertentu, tetapi bisa terjadi pada siapa pun dan kapan- pun jika kondisi
memungkinkan.
Dalam hal pembebanan tanggungjawab melaksanakan ajaran-ajaran agama,
terdapat kesamaan antara manusia dan jin. Manusia dan jin sama-sama
dibebani oleh Allah SWT dengan seperangkat perintah dan larangan yang
terangkum dalam ajaran agama yang disampaikan oleh para rasul-Nya.
Allah berfirman dalam surat Adz-Dzariyat ayat 56, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”
Pada surat Al-An’am ayat 130 Allah berfirman, “Hai golongan jin
dan manusia, apakah belum datang kepadamu rasul-rasul dari golongan kamu
sendiri yang menyampaikan kepadamu ayat-ayat-Ku dan memberi peringatan
kepada terhadap pertemuanmu dengan hari ini?”
Dalam menerima dan menjalankan ajaran agama tersebut, sebagaimana
manusia, kalangan jin berbeda-beda sikap. Ada yang beriman, ada pula
yang kafir. Ada yang taat, ada pula yang ingkar. Dalam surat Al-Jin ayat
11,13, dan 14 terdapat informasi dari kalangan jin sendiri tentang
keadaan jin yang demikian.
“Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang saleh dan
di antara kami ada (pula) yang tidak demikian. Kami menempuh jalan yang
berbeda-beda. Dan sesung-guhnya di antara kami ada orang-orang yang taat
dan ada (pula) orang-orang yang menyimpang dari kebenaran. Barangsiapa
yang taat, maka mereka itu benar-benar telah memilih jalan yang lurus.
Adapun orang-orang yang menyimpang dari kebenaran, maka mereka menjadi
kayu api bagi neraka jahannam.”
Bangsa jin sebagaimana yang dijelaskan di ataslah yang bertemu dengan
Rasulullah SAW di kampung Ma’la di dekat daerah Tihamah. Untuk
mengabadikan peristiwa unik dan penting tersebut, dibangun sebuah masjid
berukuran sedang yang dikenal dengan nama Masjid Jin.
Posting Komentar